Kasih yang Terabaikan

 

Pagi itu burung-burung berkicau dengan merdu. Mengawali pagi yang indah. Dipadu dengan kokok ayam jantan bersahutan. Menandai bahwa sebentar lagi pagi buta segera digantikan dengan hangatnya mentari pagi. Yan segera terbangun menyapa ketatnya susuana asrama yang telah dibangun dan dibentuk sesuai imajinasi para pembentuknya.
Tanpa terasa Yan sudah berada di tingkat tiga. Ini menandakan sudah cukup umur menikmati hidup di asrama ini. Pak Yin yang dulu menjadi pembina asrama tiga tahun lalu juga tugasnya telah usai. Ya usai dari tugas khususnya. Kini telah dialihkan ke pak Change. Tentu dengan kriteria dan harapan semoga lebih baik ke depan. Suasana, atmosfer asrama yang lebih baik dan teratur. "Tingkah dan laku dari kami tentunya" Pikir Yan. "Tapi apa ia?" Lanjutnya.
Yan sudah merasa seperti melewatkan lima tahun yang lalu. Meski ia baru sesungguhnya di awal tahun ke tiga berada di sini. Kedisiplinan, tata krama dan semacamnya sudah ia rasakan laksana miniatur kehidupan. Ya seperti itu biasa ia dengar dari beberapa pembentuk atmosfer sekolah ini.
"Syukurlah, saya sudah di kelas tiga. Apapun yang saya lakukan sudah tidak begitu penting bagi teman di sini. Mau pada rekan ataupun adik. " Pikir Yan. "Sudah begitu banyak rasanya telah berubah dalam hidup ini." "Saya tidak perlu lagi sesibuk seperti di kelas X atau kelas XI. "
Yan merasa segala bentuk kegundahan, kwatir, cemas, dan semacamnya tidak lagi merasa ada di pundaknya. Tinggal bagaimana ia fokus belajar dan terus belajar. Semoga kelak cita dan asanya terkabulkan.
Hari-hari yang indah baginya saat ini, dan ya itu mungkin sampai ia tamat. Bayangan keceriaannya tergambar jelas ke depannya. "Tapi apa ia ini sebenarnya yang menjadi miniatur itu?" Seketika Yan kembali pada hari-hari yang ia lewati sebelumnya, ketika masih di tingkat 1 atau 2. Pikiran itu kembali menggelayut dalam benaknya.
Ketika manusia berada pada titik kesadarannya, ia pasti juga memiliki pikiran jernih. Laksana air bening di sebuah sungai di hutan belantara. Tak beriak tapi terus mengalir dengan jernihnya. Dari kejauhan tak terlihat keruhnya. Dari jarak belasan meter bebatuan dan pasir sungai terlihat jelas. Tidak ada patamorgana di sana. Kekakuan, kepura-puraan, dan bahasa pencitraan pun tak tampak.
Memang mengola hidup, kadang perlu sedikit bentakan, atau pun pujian, tapi tak perlu "berlebihan." Atau mesti bijak tepat kepada yang dapat menerima. Mungkin perlu bimbingan, tapi tak mesti paksaan penerimaannya. Namun yang lebih baik ketika dapat menjadi prototype person yang elegant.
Sekolah prestasi telah menjadi kebanggaan. Senasional telah mengakuinya. Sivitas akademiknya semua satu point of view padanya. Telah hadir mengobati kerinduan para tokoh pembentuknya. Mereka bangga dan masyarakat pun demikian. Alumninya punya karakter yang kuat dengan adab-adabnya. Kekerabatan mereka sungguh terpuji. Rasa respek terhadap kakak yang menjadi alumni atau pun adik yang masih tengah berjuang begitu kental kepeduliannya. Begitu tampak saat ada lomba-lomba. Bukan sekedar melayani adik-adiknya, tapi lebih dari itu. Mereka para alumninya siap berkorban tenaga dan materi. Sungguh suatu persahabatan yang luar biasa. Atau tepatnya, sikap kekeluargaan yang tak terbatas.
Deretan prestasi yang ditandai dengan berbagai trophy dan lembaran penghargaan tak mungkin disangkal lagi. Sangat sedikit sekolah di Sul-Sel yang dapat predikat itu. Kalau bukan satu-satunya sampai detik ini. Ya hanya dapat menyatakan Sekolah Luar Biasa.
"Amazing school, amazing character!" Apresiasi Yan who is not anyone there in among of amazing people.
Apapun itu Yan merupakan siswa yang tak begitu populer sebagai siswa yang cerdas. Tapi Yan belajar menjadi pelajar yang berbeda. Sejak menginjakkan kaki di sekolah ini, benar-benar bertekad menjadi pelajar yang sembari mengajari relung hatinya dengan prototype pelajar yang telah terbentuk di 1997 lalu. Sampai saat ini, tentu saja.
Ia begitu bangga dengan sekolahnya saat ini. Jika untuk dibanding bandingkan, ia teringat dengan cerita tentang Harvard University. Menjadi mahasiswa di sana adalah suatu cita cita tertinggi bagi yang mengenal universitas itu. Nah bagaimana jika menjadi salah satu pelajar ataupun pengajarnya, atau setidaknya menjadi bagian dari saksi perjalanan story-nya, tentu impian yang begitu indah dan membanggakan. Segalanya membanggakan, keluarga, sanak saudara, dan ditengah masyarakat Sulawesi Selatan, pastinya.
...... ..... ......
Masih teringat jelas ketika Yan di awal-awal menginjakkan kaki di sekolah ini. Hari-harinya dijalani dengan penuh semangat. Di pagi buta Yan harus telah berada di tangga sekret. Itu aturan, 06.15 atau plus 15 menit. Telat? Ah ha, pelanggos! Simpel. Letaknya berada di gedung bagian tengah lokasi sekolah. Satu ruangan untuk semua aktivitas yang namanya OSIS. Lembaga yang membawahi uko-uko yang ada. Sekret, sesuai namanya, segala yang menjadi rahasia sekolah ini ada di sana. Yang mungkin guru pun ada yang tidak tahu tentang itu. Sekret, itu intinya. "Amazing. Luar biasa, pantastik, SMUDAMA3x, yes hidup SMUDAMA!". " Tagline sekolah " Gumam Yan dengan penuh rasa bangga.
Seiring berjalannya waktu, Yan sudah mulai terbiasa dengan suasana sekolahnya. Adat adat sekolah berasrama sudah mulai terasa. Yang baik, sedikit mengagetkan, sampai suara sumbang cerita teman jika ada yang kurang betah di sekolah.
"Iyyakah?" Tanyanya ke salah satu teman.
"Tidak kutahui juga bro. Tapi Piyan sendiri yang bilang sama saya. "
"Waduh! Ada apa yah?" "Bukannya dia bilang tempo hari dia masuk di sini karena keinginan sendiri, Tang?"
"Ya, betul. Saya juga sudah ingatkan tentang itu. Tapi katanya ia kaget. Seumur hidup di tengah keluarga, di sekolah sebelumnya, dia bilang tidak pernah "digertak" seperti itu."
"Hmm, jadi begitu di'? "
Yan tahu, sebenarnya itu juga yang ia rasakan. Namun rasa bahagia dan bangganya sekolah di sini membuatnya tetap tegar. Yan teringat dengan cerita salah seorang kakak alumni. "Sebenarnya dari dulu suasana asrama dan aktivitas di sekolah tidak jauh berbeda. Hanya mungkin pribadi masing- masing siswa yang juga  berbeda. Saya sendiri nanti di kelas tiga baru tahu kalau ada tulisan tepat diatas pintu "Ruang saji mancini baji' di ruang saji". Katanya sambil tersenyum. "Hehe', iya kak. " Jawab Yan sambil berusaha tersenyum juga ketika itu.
Yan mencoba memaknai apa yang baru saja ia dengar. Menurutnya cerita itu pasti benar adanya. "Itu artinya.....? " "Yaa sudahlah."
"Memang sih, mestinya tidak semua dapat diperlakukan yang sama. Tapi apa dan bagaimana caranya itu poinnya. Toh tujuannya untuk pembentukan karakter. " Pikir Yan sesuai pandangannya.
Yan semakin mencoba mendalami pikirannya sendiri. Jika memang untuk pembentukan karakter yang kelak siswa akan pegang ketika menjadi alumni, itu sungguh luar biasa. Perilaku itu memang perlu dibentuk dengan "mondok" di sini. Sekali pun ini bukan pesantren, tapi semua sepakat jika sekolah ini hanya berbeda karena merupakan public school dan tidak ada mata pelajaran kepesantrenan secara resmi. Tapi umumnya siswa yang ada beragama yang sama, muslim. Praktik praktik beragama sangat kental. Pengisi acara jumat pun dari para siswa sendiri, sangat luar biasa. Bukan pesantren tapi praktik agama dalam keseharian begitu terlihat.
Apa dan bagaimana membentuk karakter, itu sesungguhnya masalahnya. "Namun apakah hanya dengan cara itu yang diberlakukan sama kepada semua peserta didik di sini sebagai jalan yang terbaik?" Yan kembali merenung. Sungguh sekolah yang luar biasa dengan atmosfir prestasi yang luar biasa. Akan lebih membuat hati sejuk, adem, jika penghuninya pun dapat merasakan keseharian dengan perasaan yang sama. Tidak akan terdengar lagi, mungkin, ada yang malas-malasan back to school yang agak "terpaksa".
Secara psikologi, personal dan persoalan yang dialami seseorang adalah berbeda-beda. Hal tersebut tentu juga mengalami history kehidupan juga berbeda. Jika sekiranya semua dapat dilayani dengan penanganan yang "sesuai" jelas akan lebih baik. "Tapi apakah mungkin sekolah ini dapat melakukan itu?" Yan kembali berkutat dengan pendapatnya sendiri.
Kalaulah sekolah ini ingin berbenah, mereview hari hari sebelumnya. Sudah berapa teman yang memilih pindah sebelum tamat? Apakah itu hanya leyaknya data pencilan yang tidak berarti? Atau itu bisa menjadi sebaliknya, sebagai gambaran yang mesti mendapat solusi ke depan demi tetap baiknya sekolah ini ke depan?
Yan melihatnya sesuatu yang patut menjadi perhatian. Tapi Yan harus mengabaikan prasangka para pembentuk sekolahnya. Termasuk para alumni dan adik adiknya kelak. Bahwa ada sesuatu yang keliru di sini. Tanpa mengabaikan ketenaran sekolah, prestasi yang diraih, kebanggaan dan semacamnya.
Sekiranya bisa, tentu lebih baik dan elok ketika pemberian hukuman, atau mungkin peloncohan yang pasti tujuannya baik, ataukah gertakan semua dilakukan kepada orang yang tepat secara psikologi.
Jaman memang sudah berubah. Perlakuan orang tua kepada anaknya di lingkungan keluarga juga selalu mencari yang terbaik sesuai pengalaman dan disiplin ilmu yang mereka pelajari. Bahkan kadang-kadang ada yang membuat shock ketika ada yang semula dianggap tabu, malah di-blowup tak dibatasi. Awalnya dianggap benar, di jaman ini dinilai keliru. Semua bisa campur aduk tak jelas apa solusi terbaiknya. Kehidupan yang semakin memprihatinkan. Namun sesungguhnya kenapa Yan didukung penuh oleh orang tuanya untuk sekolah di sini adalah karena kekuatiran yang sama oleh orang tuanya, orang tua teman-temannya bersama stake holder sekolah ini. Kenakalan remaja, pergaulan bebas, free ini free itu dan berbagai free lainnya. Poinnya, no words to say cerita indah prestasi dan sopan santun alumni sekolah ini.
"Hey, Yan! Ayo pulang! Kamu melamun ya?" Ajak Atang.
"Eh? Iya. Memang mau pulang ke mana?" Katanya agak bengong.
"Yaa ke mana lagi? Ke asrama lah!" "Kamu ini. Yan Yan. Jangan banyak pikir. Jalani saja bos, show must go on. Take it easy, man! "
"Okay. Come on"
"Shiiiip. Begitu Cika' eh bosqu! "
"Eh, wait a minute! Sebentar malam ada kumpul malam ya?"
"Ya betul!"
"Hmmm awas lo, kita akan di 'roaster' niih." Goda Yan.
"Hust! Jangan sembarang bilang. Nanti kedengaran!"
"Up! Sorry! Thanks. "
"Ayo! "
Yan dan Atang kembali ke asrama bersama. Sejam lagi masih ada mapel math. Mereka biasanya agak telat datangnya. Untungnya hari itu pembelajaran tidak se serius biasanya. Beberapa temannya yang terbaik di bidang masing-masing sedang fokus menghadapi OSK. Jadinya mereka tidak ramai di kelas.
Yan hanya berpikir, ada apa lagi yang harus ia lakukan bersama teman-temannya sebentar malam. Mau bertanya ke kakak, ooh jangan dulu. Takutnya "disemprot" duluan. Lagian Atang kelihatannya tenang-tenang saja. "Okelah. Biasa saja bung. Just let's wait n see." Tutup Yan dalam lamunannya yang indah sembari menyemangati diri. (H5, R11_2023 SMUDAMA)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Buginese's Proverbs

Kenangan Masa Kecil

SERPIHAN HATI TERPAHAT DALAM KATA