SI PEMALAS MENJADI GURU
Karya: Hasyim
Di tengah hiruk pikuk kesibukan penduduk kampung Ara, di sebuah lembah bernama Palong-Palonge lahirlah seorang anak laki-laki yang diberi nama La Simang alias Hasyim dari seorang ayah yang bernama Laeppe dan ibu bernama Yubang yang dengan sabar merawat kedelapan anaknya dari pernikahnnya yang pertama dan dua anak lelakinya dari pernikannya yang kedua.
Dengan penuh kesabaran mereka berdua merawat dan membesarkanku ditengah himpitan ekonomi yang sulit dengan ayah bekerja sebagai peladan berpindah dan ibu sebagai ibu rumah tangga. Dalam waktu satu atau dua tahun mereka harus meninggalkan tanah garapannya dan berindah ke tempat lain guna melangsungkan hidup demi kami anak-anaknya agar dapat tumbuh dewasa dibalik cita-cita besar ayah agar kami dapat bersekolah dan tidak menjadi orang yang buta huruf seperti mereka.
Dalam menjalani hidup, ada kalanya kami harus tinggal di Gua, di puncak Gunung, dan di lembah yang agak tandus sekedar mengadu nasib dengan harapan padi gogo yang menjadi tanaman andalan ayah tetap dapat tumbuh sampai bisa dipanen. Namun jika kami kurang beruntung maka jangunglah yang menjadi gantinya.
Sebagai anak bungsu, aku tumbuh dalam buaian ibu yang agak memanjakan, berbeda dengan ayahku yang agak keras namun tidak berarti kasar dan kejam.
Dengan sikap ibu dan ayah yang lembut, aku tumbuh menjadi anak yang tidak terbiasa bekerja keras. Perkerjaan ayah yang sehari-harinya berkebun tidak membuatku harus ikut bekerja. Kalaupun aku mau, itu bukan karena desakan ayah agar aku ikut membantu. Ayah hanya biasa mengingatkan agar aku bisa sekolah tidak boleh seperti ayah. Dengan penuh harap ayah sering berpesan.
“Assikolako mbo’.” Katanya dengan bahasa Bugis. “Kamu tidak boleh seperti ayah.” “Jangan jadi seperti kerbau. Ke mana-mana hanya untuk dipotong.” “Kamu harus bisa membaca dan menulis agar tidak mudah dibodoh-bodohi orang.” Lanjutnya menasehati.
Karena keseharianku yang tidak sering membantu ayah di kebun, tidak jarang kakak dari suami ibu yang pertama mengecapku sebagai anak pemalas. “Itu anakmu wa’ Laeppe, ‘makuttu.’ ”Ujarnya dalam bahasa Bugis. “Makuttu” berarti pemalas.” “Nanti jatuh baru kena tanah.” Katanya melanjutkan.
Ujaran kakak dengan istilah pemalas kepadaku memang benar juga. Aku meresa bekerja di kebun adalah pekerjaan yang membuatku putus asa. Ayah yang mulai pagi buta bekerja, kembali di siang hari sekedar makan siang lalu balik lagi ke kebun sampai petang hari hasilnya hanya sekedar untuk menyambung hidup sehari-hari. Bahkan itu pun belum cukup. Menyadap enauh untuk tambahan penghasilan, memanen kemiri sekali setahun itu pun belum cukup juga untuk sekedar membuat rumah yang layak huni.
Pemandangan yang sungguh membuat aku benar-benar sepakat dengan ayah, aku harus sekolah. Ketika suatu waktu aku ikut membantu ayah di kebun baru seukuran sejengkal aku mencoba bersihkan aku kemudian mulai sangat bosan sampai aku berujar, “Kapan selesainya pekerjaan ini!” Umpatku dalam hati.
Ayahku yang begitu rajin dan telaten bekerja setiap hari tapi justru aku yang merasa bosan melihatnya. Ketika ayah mulai membersihkan kebun bagian timur, belum bersih di sana rumput sudah tumbuh subur lagi di bagian barat, selatan, dan utara. Padahal luasnya hanya sekitar 1 are. Benar-benar pekerjaan yang membosankan.
Berbagai stigma jelek yang biasa sampai ke telinga ayah dan aku-kalau tidak merendahkan-dari umumnya warga kampung. Anaknya dibiarkan tunbuh jadi pemalas, tidak ada ketegasan, kalau orang gunung mau sekolah itu hanya mimpi apalagi bagi kita orang kampung, mau ambil biaya dari mana kalau mau menyekolahkan anak, dan bahkan sekolah itu dianggap hanya menghabiskan biaya saja.
Kultur yang dibagun ayah dalam keseharian kami memang agak berbeda dengan orang kampung pada umumnya, tak sekalipun ayah membentak saat menyuruh kami melakukan sesuatu. Apalagi jika urusannya masalah bekerja di kebun atau membantunya mencari nafkah. Kalau pun ayah marah itu hanya ketika kami bersikap cengeng dan menangis, itu yang ayah tidak suka. Suatu bentuk perilaku mendidik yang aku kagumi sekalipun saya tahu ayahku tak pernah mengenyam pendidkan sama sekali.
Teringat di suatu waktu ketika aku berkunjung ke salah satu rumah teman, aku begitu kaget ketika temanku dibentak oleh ayahnya. Dengan nada perintah suara yang tinggi ayahnya menyuruhnya untuk mengupulkan buah coklat yang sudah tua jangan hanya duduk menonton televisi. “Memang bisa kamu makan itu televisi!” Umpatnya.
Aku pikir beruntunglah aku hidup dan dibesarkan di lingkungan keluarga yang santun, sabar dan penyayang. Tak terbayang jika aku bersama dengan keluarga ini. Mungkin aku akan seperti anak yang lain, bisa memilih saja kabur dari rumah.
Nasihat ayah senantiasa terpatri kokoh dalam hati yang membuat aku taat pada cita-cita aku harus bisa lebih baik dari kehidupan ibu dan ayahku. Dari cerita-ceritanya, aku semakin kuat untuk merubah nasib di masa depan. Sewaktu masih muda ayah seringkali menekuni suatu pekerjaan. Hasilnya lumayan menjanjikan namun harus berhenti karena tidak bisa sekedar menuliskan laporan hasil transaksi kepada bosnya. Ayah mengaku sungguh menyesal dengan keadaan itu. Rupanya inilah salah satu alasan kuatnya mengapa aku harus sekolah dan tidak membiarkan kami anak-anaknya ikut membantunya mencari nafkah meskipun situasi ekonomi yang sulit.
Kegigihan dan dukungan yang kuat agar aku dapat pendidikan yang layak akhirnya bisa terjawab. Sekolah di SD Galiunglangii’e, SMP Muhammadiyah Watansoppeng, SMAN 1 Watansoppeng dan S1 serta S2 keduanya di Universitas Negeri Makassar jurusan Pendidikan Bahasa Inggris.
Setamat S1 aku mulai belajar menjadi guru di SMAN 7 Gowa- sebelum pindah ke di SMAN 5 Gowa sampai sekarang. Aku merasa sangat senang bekerja sebagai guru sekalipun masih berstatus sebagai honorer. Sekolah yang selama ini aku perjuangkan akhirnya bisa terwujud sesuai cita-cita. Setelah setahun mengajar, di tahun 2003 oleh presiden RI ke-6, dibuka pendaftaran guru honorer secara resmi nasional dengan nama Guru Bantu Sementara (GBS). Alhamdulillah aku juga bersyarat untuk bergabung.
Mulailah aku semakin sadar akan tanggung jawabku sebagai guru. Semangatku untuk memperbaiki diri, meningkatkan kemampuan pada bidang yang aku ampu, dan mencari peluang-peluang untuk bisa meningkatkan kompetensi. Mengikuti lomba guru berprestasi sebanyak tiga kali namun yang terbaik hanya sampai tingkat propinsi, sampai dapat kesempatan melanjutkan Pendidikan di S2 tahun 2009.
Malino, 9 Oktober 2023
Komentar
Posting Komentar
Only positif comment will be apreciated