Kenangan Masa Kecil

 

Di Bawah Langit Dusun Ara

Karya: Hasyim

          Aco dengan gembira jatuh bagun mengekor ayahnya dari belakang. Tanah yang konturnya sedikit miring kehitaman bertanda baik bagi tanaman, masih sedikit basah oleh embun.

          Di pagi buta Ambo sedang menuju ke kebun bekerja seperti biasa. Ia menoleh ke belakang setelah terdengar ada suara anak kecil di belakangnya.

          Awee Co, maccuee siko nak?” Kata Ambo pada anak bungsunya.

          Istrinya Indo tergopo-gopo keluar gubuk memanggil, “Acoo…awee nak belum waktunya kau ikut ayahmu nak,” katanya sedikit berteriak.

          Aco hanya tertawa gembira. Umurnya yang baru 1 setengah sampai 2 tahun itu belum tahu maksud seruan ibunya.

          Indo’na alai yolo ana’mue!” Seru Ambo meminta Indo mengambil anaknya. 

          “Iya Yah. Baik,” jawab Indo.

          Aco hanya cengengesan digendong ibunya. Hawa dingin tanah Ara di area pegunungan tak terasa bagi Aco.

          Bermain dan bermain menjadi keseharian Aco di setiap hari. Pagi, siang hingga malam.

          Keceriaannya sebagai seorang anak “rimba,” hidup di tepian hutan kebun garapan ayah bersama ibunya.

          Kedua orang tuanya hidup sehari-seharinya mengandalkan hasil bumi dari kebun. Mereka tidak dapat berdagang atau pun bekerja dengan pemerintah sebagai pegawai. Keduanya tidak diberikan kesempatan di waktu kecilnya untuk belajar menulis atau pun membaca.

          Aco sendiri sebelum usia sekolah, tidak tahu apa artinya hidup di pedalaman. Dari lembah pegunuangan yang satu ke lembah yang lain. Semua berjalan seperti pergantian siang dan malam. Tak ada yang berbeda baginya.

          Di sebuah lembah gunung Ara, Aco memulai petualangannya menikmati masa kecilnya yang penuh warna.

          “Hei…Aco, ayo main layang-layang!” Teriak Arif penuh ceria. Anak saudara seibu Aco dari pernikahan ibunya yang pertama. Usianya terpaut satu tahun dibawah Aco.

          “Ayo!” Jawab Aco dengan penuh kegirangan.

          “Rif, mana layang-layangmu, kog tidak ada?” Tanya Aco heran melihat Arif tak membawa mainan yang dimaksud.

          “Iya nih, kan kita baru mau buat? Iya kan?” Jawab Arif.

          “Yaa, betul juga.” Lanjut Aco mengiyakan.

          Mereka lalu ke pinggir hutan mengambil beberapa potong bambu tidak jauh dari kebun. Letaknya hanya puluhan meter dari pagar kebun ayah Aco.

          Tanah garapan Ambo berada di ketinggian sekitar tujuh ratusan mdpl. Sebuah daerah bernama Aju Sipong. Tempat ini merupakan daerah perpindahan Ambo yang ketiga kalinya setelah pindah dari Palong-Palonge tempat kelahiran Aco, kemudian ke Sappe Riaja dan sekarang Aju Sipong.

          “Arif, bagaimana…?” Tanya Aco sambil berteriak yang suaranya tenggelam oleh suara gesekan daun bambu oleh angin. “Sudah cukup tidak bambu yang kamu ambil? Lanjutnya. “Ayo kita kembali ke depan rumah!” Ajak Aco setelah merasa sudah cukup bilah bambu untuk membuat layangan.

          “Oh iya Co...” Balas Arif. “Sepertinya sudah nih...” Lanjutnya. “Ayo kita balik!” Ajak Arif mengiyakan Aco sambil menenteng bambunya.

          “Baik.” Jawab Aco.

“Kita buatnya di atas balai-balai saja ya?” Lanjut Aco menyarankan sambil berjalan berbarengan.

          “Baik.” Jawab Arif.

          Setelah beberapa saat, mereka sudah di posisi untuk memulai membuat layang-layangnya.

          “Bambu sudah ada, benang juga, kertas minyak. Ee…apa lagi ya?” Kata Aco menghitung-hitung perlengkapan yang telah disiapkan.

Eh… Rif kita pakai apa perekatnya?” Tanya Aco ke Arif lagi setelah merasa masih ada yang kurang.

          “Ehm…apa ya?” Pikirnya. “Buah bila-biila kan tidak ada.” Lanjut Arif sedikit bergumam.

          “Eh, Rif! Apa tadi kau bilang? Buah bila-bila ya?” Timpal Aco seketika mendengar Arif menyebut nama buah itu.

“Akh!?” Kata Arif menoleh sedikit kaget dengan seruan Aco. “Iya Co.” Lanjut Arif. “Betul, itu yang saya maksud!”  Seru Arif menganggukkan kepala.

          “Nah itu!” Tandas Aco tegas. “Tunggu sebentar, saya cari punyanya kak Aming dulu.” “Mungkin masih ada sisa buah bila-bilanya.” Kata Aco yakin dengan penuh semangat sambil mengacungkan jari telunjuknya untuk meyakinkan.

          “Baik Co. Saya tunggu di sini.” Jawab Arif tak kalah bersemangat.

          “Nah… ini Rif.” Kata Aco seketika kembali dari bagian belakang gubuk. “Betul Rif, ini masih ada.” Kata Aco dengan memperlihatkan buah bila-bila sebesar bola tenes yang tersisah hanya sebelahnya saja.

          “Ayo Rif kita mulai!” Ajak Aco untuk mulai membuat layang-layang.

          Keseruan mereka dalam membuat mainan dengan berbekal kemampuan sendiri tak diragukan lagi. Meski tak jarang layang-layang buatannya hanya bisa berputar-putar saja jika diterpa angin.

          Kencangnya angin pegunungan pun seringkali membuat layang-layangnya tak dapat bertahan. Namun jika sudah terlanjur melayang di angkasa, itu berarti sudah berhasil dan terhindar dari gagal melayang.

          Angin yang berhembus lebih kencang dari biasanya, mengalihkan pikiran Aco ke permainan yang lain. Permainan yang biasanya dimainkan oleh Aco dan teman-temannya sesama anak gunung.

          “Rif, sepertinya anginnya agak kencang nih, bagaimana kalau kita main baling-baling saja?” Ajak Aco untuk beralih permainan.

          “Iya juga nih Co.” Kata Arif mengiyakan. “Ayo!” Tandasnya.

          “Tapi tunggu dulu Rif, memang kamu tahu membuat baling-baling ya?” Tanya Aco ragu.

          “Yaa tidak juga sih, tapi…kita kan bisa tanya kak Aming atau sekalian Ambo?” Jawab Arif menyarankan.

          “Bagaimana ya?” Pikir Aco sejenak. “Aaa…begini saja Rif kita tanya kak Aming saja. Jangan mi Ambo. Tidak enak mengganggu kerjaannya.” Lanjut Aco juga menyarankan.

          “Ok. Ayo!” Kata Arif setuju tanpa ragu.

          Dengan kegirangan mereka berdua datang menemui Aming yang tengah membaca-baca buku sekolahnya.

          Aming yang terpaut tiga tahun dari Aco, memang sudah lebih tahu membuat berbagai mainan tradisional di kampung. Meskipun soal baling-baling yang jika dibuat oleh ahlinya, buatan Aming masih jauh dari kata sama.

          Baling-baling yang bagus akan mengeluarkan bunyi seperti layaknya motor balap, “buur…bu bu bur… bu bu bu buur…,” suaranya mengikuti laju derasnya hembusan angin mewarnai setiap sisi gunung secara berulang. Iramanya akan terdengar dari kejauhan pertanda di pesisir gunung itu ada kebun masyarakat setempat.

          Aming menegaskan tidak bisa menjanjikan akan hasilnya bagus, namun ia akan usahakan.

          “Baik de’, saya coba saja ya.” Katanya ke Aco dan Arif.

          “Iya kak. Tidak masalah, kami juga akan belajar membuatnya.” Jawabnya berdua.

          Sebatang kayu seukuran 2 sampai 3 cm besarnya. Panjangnya 20 sampai 30 cm diambilnya Aming untuk dibuat baling-baling. Ia memang sudah menyiapkan beberapa batang sebelumnya. Sengaja ia jemur agar kering. Persiapan musim kemarau sebagai permainan favorit anak gunung.

          Aming yang saat itu masih duduk di kelas dua SD juga tetap sangat senang bermain baling-baling.

          Jenis kayu untuk membuat baling-baling harus berasal dari jenis kayu khusus yang disebut Waru. Daunnya agak lebar berbentuk lingkaran yang biasa dimanfaatkan untuk membungkus Ota yang diletakkan di tempat tertentu untuk keperluan sesajen atau ritual tertentu.

          Kayunya agak rigan jika sudah kering. Namun jika sudah menjadi baling-baling dapat bertahan dengan terpaan angin. Tekstur kayunya halus putih dan dapat menjadi lentur setelah berbentuk baling-baling. Membentuknya menjadi baling-baling juga rautannya harus tipis agar bisa menimbulkan bunyi sesuai yang diinginkan.

          Setelah beberapa jam, sebuah baling-baling telah selesai dibuat Aming.

          “Bagaimana de’? Seperti ini jadinya.” Kata Aming memperlihatkan hasil kerjanya.

          “Oh iya kak, terima kasih.” Sambut Aco senang.

          “Baiklah ya, kalian berdua bisa mencontoh ini.” Lanjut Aming.

“Kakak belum coba apa baik atau tidak, nanti kakak coba setelah menyelesaikan tugas sekolah kakak dulu ya,” Imbuhnya kepada Aco dan Arif.

          “Iya kak. Terima kasih. Kakak telah membuatkan contoh yang dapat kami tiru.” Jawab Arif senang.

          Setelah mencoba membunyikan baling-balingnya, Aming merasa kurang puas karena bunyinya tidak seperti yang diinginkan.

          “Waduuh maaf ya de’ ini kurang bagus. Kakak belum ahli soalnya." Sesal Aming dengan hasil baling-balingnya.

          “Tidak apa-apa kak. Kakak sudah berusaha membantu memberi contoh.” Kata Aco menunjukkan rasa hormatnya sambil melirik ke Arif.

          “Iya kak, terima kasih banyak. Biar itu saja kami bisa contoh.” Sambung Arif berterima kasih.

          Mereka sangat menikmati permainan apapun yang bisa mereka buat. Made in sendiri pastinya.

          Menikmati musim kemarau, Aco bersama Arif dan teman-temannya yang lain juga biasa mengisinya dengan bermain gasing.

          Untuk permainan ini, harus berjenis kayu yang keras dan bobotnya berat dibanding jenis kayu lainnya. Biasanya diambil dari kayu ading, yang oleh orang tua batangnya juga bisa jadi aluh-aluh penumbuk bumbu masakan di dapur.

          Di musim kemarau, begitu banyak permainan yang Aco bisa lakukan. Mulai dari membuat rumah-rumah, perosotan, main te’, sembunyi-sembunyi di bawah sinar rembulan di malam hari, sampai membolang ke hutan dan sungai menikmati kekayaan alam yang ada.  

Bionarasi Penulis

Penulis berasal dari Palong-Palonge, sebuah kampung terpencil Dusun Ara Desa Ukke’e Kecamatan Donri-Donri Kebupaten Soppeng bernama lengkap Hasyim, S.Pd., M.Pd mulai mengabdi menjadi guru tahun 2003 di SMAN 7 Gowa sebelum pindah ke SMAN 5 Gowa sejak tahun 2014 Juli sampai sekarang.

Bersama Komunitas Kami Pengajar Regional Sulawesi, telah menerbitkan buku dengan judul Senandung Persaudaraan Nusantara sebuah Kumpulan Puisi Akrostik Larik, Melodi Kenangan 2023: Kisah Terpahat di Lembaran Waktu, Jejak Waktu dalam Sehelai Kertas, Petuah Bijak Seloka Kehidupan: Irama Hati dalam Pantun Penuh Petuah, Dalam Syair Nama Eksistensi Jiwa Terukir, dan Cahaya Toleransi di Pelita Ramadhan di bawah satu Penerbit JP Creative dari tahun 2023 sampai 2024. Sebuah novel berjudul Memetik Mimpi Menepis Prasangka terbit cetakan pertama Desember 2024 oleh Edwrite Pubisher.

Penulis dapat disapa lewat CP 0852 4288 9704 dan Email hasyimsoppeng@gmail.com. Juga di diblog hasyimsoppeng.blogspot.com.       

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Buginese's Proverbs

SERPIHAN HATI TERPAHAT DALAM KATA