Kisah Perempuan Tangguh

 Kak Fiaku Sayang

Karya: Hasyim

“De’ ayo bangun. Bangun de’, sudah pagi nih,” kata Fia berusaha membangunkan kedua adiknya pagi itu.

Fia berusaha tetap pada pesan ibunya yang sudah setahun terakhir telah tiada. Ayahnya yang sejak umur belasan tahun pergi merantau namun tak pernah kembali lagi hingga saat ini.

“De’ hari ini mungkin kakak agar sore pulangnya. Azzam bermain di rumah saja dulu temani Dika.”

“Baik kak.” Jawab Azzam.

“Oh ya, ada beberapa yang mesti kakak lakukan. Kakak harus memastikan apakah pekerjaan kakak masih tetap di retailer garment atau kakak harus pindah kerja lagi hari ini. Begitu banyak gelombang phk akahir-akhir ini. Di kantor kakak juga sudah ada warning dari bos akan ada perampingan pegawai.”

“Iya kak.”

Azzam yang baru menginjak kelas lima SD tidak terlalu banyak tahu tentang apa yang dibicarakan kakanya. Apa yang disampaikan kakaknya ia hanya bisa mengiyakannya saja. Sementara Dika yang baru duduk di kelas dua. Masih sangat bergantung pada aktivitas Azzam di mana saja.

“Pagi Pak.” Sapa Fia kepada manajernya di kantor.

“Oh iya, pagi.” Jawab bosnya singkat.

Melihat raut wajah bosnya, Fia tahu pasti ada yang genting yang akan ia terima hari itu.

“Ehm…Fia.” Iya bos.

“Eee…Langsung saja ya. Sebenarnya saya tidak enak menyampaikan ini. Tapi ini yang saya harus lakukan.” Kata Imam mulai menjeaskan.

“I..i..iya bos. Saya bos saya mengerti.”

Sambil menggenggam sebuah amplop di tangan kanannya. Pak Imam memberikannya ke Fia.

“De’ Fia.” Kata pak Imam memanggil Fia yang biasa ia lakukan dengan gaya akrabnya.

“Oh iya Pak.” Jawab Fia.

“Saya mungkin tidak perlu sampaikan apa isi surat itu De’. Saya yakin kamu juga sudah mendengar akhir-akhir ini begitu banyak masalah yang sedang terjadi. Tampaknya juga apa yang saya kuatirkan benar-benar menjadi kenyataan De’. Nanti De’ Fia buka surat itu setelah berada di luar kantor ini. Saya minta maaf tidak dapat berbuat apa-apa. Perlindungan kepada karyawan semakin susah dilakukan saat ini. Undang-Undang OMNIBUS LAW telah mengatur sedemikian rupa hingga hak-hak karyawan semakin terbatas.”

“Baik Pak. Terima kasih” Ucap Fia sambil berlalu. Seakan tak ingin satu pun karyawan lain tahu kalau hari itu adalah hari terakhirnya lagi di pekerjaannya.

Ada isak tangis di sudut bibirnya. Tetes air matanya terlihat jatuh di sudut matanya namun ia cepat-cepat menyekanya dengan jemarinya agar tak terlihat oleh mantan bosnya itu. Ia tidak ingin siapapun yang tahu, termasuk temannya di perusahaan itu yang juga mengalami nasib serupa.

“Eh kak, sudah ada di rumah to, katanya tadi pulangnya agak telat hari ini? Tapi yaa sudalah. Aku bisa main sama temanku berarti.” Kata Azzam sambil menenteng tasnya masuk di rumah.

Dika yang mengekor dari belakang sedikit heran juga melihat kakaknya yang ternyata sudah ada di rumah lebih awal.

Soal keadaan, sekalipun ia masih di kelas dua SD, Dika biasanya lebih peduli dan perhatian. Siang itu juga tahu kalau kakaknya lagi ada masalah.

“Kak, kog mukanya kusut banget sih? Ada masalah ya kak?” Tanyanya.

“Ah tidak de’.”

“Tapi kan tadi pagi kakak bilang mungkin sore baru pulang?”

“Iya de’. Kerjaan kakak tadi cepat selesai. Jadi ya kakak pulang lebih awal. Tidak masalah kan, ade’ gantengku?” Goda Fia sama adiknya.

“Tapi ngomong-ngomong tumben kog Dika tanyanya serius begitu ke kak Fia? Emang ada yang lain dari kak Fia nya ya?”

“Iya kak. Habisnya kakak tidak ceria dan menyapa kami saat datang dari tadi. Kan Dika sedih lihat kakak kalau tidak ramah takutnya kakak marah sama adik.”

“Oh gitu yaa? Tidaklah, de’,” timpal Fia sembari mengusap rambut adiknya.

“Oh ya, ayo masuk dulu. Dika harus makan dulu, ganti baju, dan nanti kita lanjut ngobrolnya yah,” lanjutnya.

“Baik kak.” Jawab Dika.

Sesaat kemudian Fia memanggil adik yang satunya.

          “Azzam…” Teriaknya. Hey kamu di mana, ayo makan dulu. Sudah ganti baju belum?”

          “Iya kak. Sudah.” Jawab Azzam dari dalam kamar. Ia hampir saja langsung keluar rumah pergi main bersama temannya. Untungnya kakaknya tidak terlambat memanggilnya.

          “Kak, kalau orang kerja itu bagaimana sih?” Tiba-tiba Azzam bertanya tanpa Fia sadari. Persis seperti bom waktu yang tiba-tiba meledak di depannya.

          “Kenapa juga adikku yang satu ini bertanya tentang pekerjaan? Selama ini begitu tak peduli, kog tiba-tiba bertanya begitu ya? Gumam Fia dalam hati. “Aku paham jika Dika yang agak kepo dengan apa yang ia lihat dariku saat ini tapi Azzam, kali ini agak aneh, lalu apa yang harus aku jawabkan? Atau jangan-jangan nantinya bertanya terlalu jauh kalau sesungguhnya aku sekarang kena PHK ya alias tidak berkerja lagi.” “Yaa Tuhan… adik-adikku tidak boleh tahu ini, yang mereka tahu adalah harus sekolah. Titik.” Fia benar-benar tenggelam dalam pikiran kuatirnya.

          Memang adiknya masih ingusan, tapi mereka sudah pasti sedikit sudah tahu melalui media TV atau HP ketika mereka meminta meminjamnya. Setahunya mereka suka menonton reels atau video-video lainnya.

          “Aa…kak, kog tidak dijawab kak, ada yang salah ya?” Desak Azzam.

          “Ooh iya de’ tidaklah. Masa bertanya saja itu salah?” “Begini ya adikku sayang habisin dulu itu makannya ya baru kakak cerita.”

          “Baik kak.”

          Saat-saat seperti ini Fia begitu terpukul. Adik-adiknya menikamati makanan seadanya dengan lahapnya. Seakan mereka tidak ada beban sama sekali. Meskipun kadang Fia menerima pertanyaan dari adiknya yang begitu menyayat hati. Bertanya tentang Ibunya, ayahnya, atau tentang pekerjaan seperti tadi.

          Setelah menyelesaikan makan siangnya, Azzam langsung bergegas pergi main. Ia lupa untuk lanjut dengan jawaban kakaknya. Dika juga demikian, ia langsung menyibukkan diri dengan kesenangannya menggambar.

          Dalam hari Fia lega untuk hari itu. Ia tak perlu memberi tahu apa yang sesungguhnya terjadi kepada kedua adiknya yang sangat ia sayangi.

          “Subhanallah, yaa Allah… berilah aku kesabaran. Hanya kepad-Mu aku berserah diri.”Ucapnya lirih.

          Isakan tangis yang begitu memuncah, namun dia tetap tahan. Ia tidak ingin adiknya tahu. Apapun itu, adikinya tak boleh tahu peliknya kehidupan mereka saat ini. Untungnya ada sedikit pesangon dari eks-bosya dari kantor tempanya bekerja sebelumnya. Setidaknya ia bisa gunakan untuk bertahan selama seminggu untuk mencari pekerjaan yang baru.

          “De’…ayo de bangun…” Ajaknya kepada kedua adiknya pagi itu.

          “Iya kak.” Jawab Dika.

          Azzam masih bermalas-malasan untuk bangun. Semalaman ia menonton Pokemon di TV. Sekalipun kakaknya beberapa kali mengingatkan, Azzam tetap menonton sampai agak larut.

          Tiga puluh menit kemudian, Fia berangkat bersama. Mengantarkan langsung adiknya ke sekolah dengan motor yang ia sempat beli dari hasil keringatnya sendiri. Memang bekas juga bukan metik tapi itu sudah cukup membantu melakukan aktivitasnya sehari-hari. Itu sebelum Ibunya pergi untuk selamanya.

          “Hari ini aku harus dapat pekerjaan yang baru.” Tekadnya dalam hati. “Adik-adikku tidak boleh tahu kalau aku tidak bekerja lagi.”

          Tempo hari sebelum di PHK, ia melihat ada lowongan kerja untuk alumni diploma. Tepat dengan pendidikannya, sekalipun hanya diploma 1 tahun. Namun disiplin ilmunya berkaitan dengan laporan keuangan.

          Pagi itu ia sudah berniat untuk langsung mendatangi tempai itu.

          “Pagi Pak.” Sapanya kepada sekuriti.

          “Oh hi pagi. Ada yang boleh saya bantu mbak?”

          “Iya nih Pak.” Boleh saya ketemu dengan pimpinan di kantor ini ya Pak? Saya ada perlu.”

          “Boleh, boleh mbak. Tapi … apa sudah ada jamji begitu?”

          “Belum sih, tapi…”

          “Oh ya, baik mbak saya antar, mari…”Ajak pak Satpam sambil mengacungkan ibu jarinya sambil mengantarkan Fia bertemu dengan sang manajer personalia perusahaan.

“Itu ruangan Bapak mbak. Masuk saja ke dalam.” “Saya sampai di sini saja ngantarnya ya mbak.”

“Baik Pak, terima kasih sudah mengantarkan saya.”

“Sama-sama mbak, silahkan.”

“Baik, terima kasih.”

Pertemuannya dengan pak Manajer tidak berangsung lama. Mungkin hanya sepuluh sampai lima belas menit saja.

“Pagi Pak. Boleh saya masuk?” Tanya Fia kepada Pak Herman.

“Pagi, ada yang bisa kami bantu?”

“Ia Pak, saya lihat ada lowongan kerja di sini, di kantor Bapak apa boleh saya tahu lebih jauh tentang itu Pak?”

“Oh iya de’. Soal itu ya.” “Akh… begini. Terima kasih adik ini sudah datang ke kantor kami. Hanya saja ada perubahan kebijakan sehari kemarin. Olehnya itu, pimpinan memutuskan untuk tidak melanjutkan rencana penerimaan karyawan baru de. Mohon maaf ya.”

“Tapi Pak, kog”

“Ssst…maaf de ya saya benar-benar tidak bisa memberi informasi lebih dari itu.” Potong pak Herman kelihatan tidak ingin ada yang dengar. Sepertinya sangat rahasia.

Hari itu Fia begitu terpukul untuk kedua kalinya, ia gagal dapatkan pekerjaan. Ia hanya teringat akan kedua adiknya dan seminggu kesempatan itu baginya.

Bionarasi Penulis

Penulis berasal dari Palong-Palonge, sebuah kampung terpencil Dusun Ara Desa Ukke’e Kecamatan Donri-Donri Kebupaten Soppeng bernama lengkap Hasyim, S.Pd., M.Pd mulai mengabdi menjadi guru tahun 2003 di SMAN 7 Gowa sebelum pindah ke SMAN 5 Gowa sejak tahun 2014 Juli sampai sekarang.

Bersama Komunitas Kami Pengajar Regional Sulawesi, telah menerbitkan buku dengan judul Senandung Persaudaraan Nusantara sebuah Kumpulan Puisi Akrostik Larik, Melodi Kenangan 2023: Kisah Terpahat di Lembaran Waktu, Jejak Waktu dalam Sehelai Kertas, Petuah Bijak Seloka Kehidupan: Irama Hati dalam Pantun Penuh Petuah, Dalam Syair Nama Eksistensi Jiwa Terukir, dan Cahaya Toleransi di Pelita Ramadhan di bawah satu Penerbit JP Creative dari tahun 2023 sampai 2024. Sebuah novel berjudul Memetik Mimpi Menepis Prasangka terbit cetakan pertama Desember 2024 oleh Edwrite Pubisher.

Penulis dapat disapa lewat CP 0852 4288 9704 dan Email hasyimsoppeng@gmail.com. Juga di diblog hasyimsoppeng.blogspot.com. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Buginese's Proverbs

Kenangan Masa Kecil

SERPIHAN HATI TERPAHAT DALAM KATA