Bakti Sang Guru Digugu dan Ditiru
Opini
Bakti Sang Guru Digugu dan Ditiru
Karya: Hasyim
Sosok
guru tak terlepas dari pengakuan baik murid yang pernah diajarnya maupun mereka
yang mengakuinya karena ilmunya. Namun seiring pergantian zaman, tak sedikit
dari mereka yang harus menelan ludah pahit akibat perbuatannya sendiri. Mereka telah mengajar – mungkin sudah bertahun
- akan tetapi masih belum fasih dalam memaknai menjadi guru. Akibatnya predikat
guru yang disandangnya yang sebenarnya sangat mulia menjadi buruk di mata
masyarakat juga pada para pemerhati pendidikan.
Menjadi
guru tidak semata-mata hanya karena sebuah pekerjaan. Berangkat dari triologi pendidikan,
guru dituntut untuk menjadi patron perubahan bagi anak didiknya. Guru harus
menjadi sosok manusia yang dapat digugu dan ditiru bagi mereka yang diajarnya,
bahkan masyarakat pada umumnya. Itulah sebabnya guru harus tampil menjadi orang
yang mempunyai sikap dan perilaku yang baik. Pada saat yang sama, ia juga harus
mempunyai kompetensi yang mumpuni untuk mengajarkan sesuatu sesuai bidang
ilmunya, dan dapat menunjukkan kemampuan atas apa yang menjadi disiplin ilmunya
tersebut. Hal inilah yang mebedakan dirinya dengan pengajar pada umumnya.
Jika
seorang guru berbuat hal yang keliru, maka serta merta runtuhlah roh keguruan yang
selama ini diperjuangkan. Ibarat pepatah “Karena nila setitik rusak susu
sebelanga.” Bertahun-tahun mungkin telah membangun karakter diri untuk menjadi
guru, namun karena kesalahan yang diperbuat akan merubah persepsi orang menjadi
jelek, dan parahnya lagi bahkan predikat profesi guru pun ikut disalahkan. Jika
seorang anak berprestasi di suatu sekolah yang mendapat pujian pertama adalah
orang tua anak tersebut, sebaliknya jika seorang anak didik berbuat salah maka
yang pertama disalahkan adalah gurunya yang tidak becus dalam mendidik
muridnya. Sungguh suatu stigma yang harus menjadi pengendali bagi seorang guru.
Berbagai
persoalan hidup yang dihadapi bagi seorang guru. Ada saatnya guru dituntut
untuk tetap memberi nilai yang belum sepantasnya, namun harus tetap tuntas
khususnya dalam kaitannya dengan kompetensi anak didik. Karena pada saat yang
sama guru harus berperilaku laksana bunglon dalam menyesuaikan diri. Prinsip
idealisme yang terbangun di bangku kuliah perlahan tergerus oleh ketatnya
aturan kurikulum yang bahkan sejak negeri ini merdeka sejatinya telah digugat.
Keberpihakan pada tuntutan dunia kerja tidak secara signifikan sesuai dengan
nilai perjuangan pendidikan itu sendiri. Bahkan keprihatinan mendalam
sebenarnya ditunjukkan secara kasat mata dengan pergantian kebijakan kerikulum
yang berbanding lurus dengan pergantian pemangku otoritas kebijakan dalam
pendidikan.
Guru
dengan segala problematikanya, tetap harus tampil memberi pelayanan semaksimal
mungkin. Berbagai metode, model, gaya, dan prinsip, serta pendekatan yang
mereka terapkan agar kelak anak didiknya dapat memenuhi harapan orang tua
peserta didik dan anak bangsa sebagai penerus cita-cita luhur para
pendahulunya. Guru senatiasa berjuang untuk memenuhi ekspektasi semua elemen
bangsa sebagai bangsa yang besar.
Ketika
guru mulai dilirik, ditingkatkan kesejahteraannya, pada saat itu pula mulai
dibenturkan dengan kesejahteraan berbagai pihak. Berbagai sikap skeptis yang
melemahkan dan bahkan bernada menentang. Guru belum seharusnya menerima
reimunerasi pendapatan jika belum memenuhi berbagai unsur ini dan itu, dan
bahkan dikaitkan dengan etikanya yang sudah jauh dari predikatnya sebagai sosok
yang harus digugu dan ditiru. Mulailah kemudian juga dibanding-bandingkan
dengan profesi fungsional di bidang kesehatan dan bidang lainnya. Akan tetapi
mereka tidak sadar bahwa justru yang mereka seharusnya gugat adalah kehidupan
para wakil rakyat yang terhormat itu.
Jika
dibandingkan dengan guru, merekalah yang paling bertangung jawab dengan segala
proses kehidupan bernegara dan berbangsa. Sementara guru berjuang di titik
bawah yang berusaha meletakkan dasar pengetahuan dan perilaku yang seharusnya
mereka lakoni dalam kehidupan ini. Jika seorang guru bermasa bodoh, hanya ingin
menghabiskan hidupnya dengan mengajar saja, itu juga bisa saja ia lakukan. Akan
tetapi dengan kesadarannya guru punya prinsip, komitmen yang kuat agar anak
bangsa ini bisa lebih baik dan bahkan bisa menjadi bangsa yang mandiri.
Sebaliknya para perwakilan rakyat jika memutuskan suatu aturan dengan “salah”
maka rusaklah semua tatanan yang telah anak bangsa ini pelajari sejak awal
hingga di ujungnya bangsa ini bisa kembali baik.
Tepatlah
ketika seorang anggota DPR digaji selangit jika dibandingkan dengan guru, namun
kadang harapan besar kepada wakil rakyat itu membuat rakyat harus menelan pil
pahit yang menyedihkan. Harapan akan lahirnya suatu aturan yang memberikan rasa
adil kepada anak bangsa justru melenggangkan para manusia culas untuk berbuat
semena-mena kepada orang yang tidak punya power di masyarakat. Berbeda
dengan guru yang seluruh hidupnya diabdikan untuk memberi pemahaman dan
pengetahuan serta etika dari sejak kecil hingga dewasa. Di sekolah-sekolah
lahir anak-anak yang tumbuh menjadi harapan orang tua dan bangsa yang besar.
Tidak pernah terbayangkan bagi seorang guru akan melahirkan anak-anak yang
pandai bersilat lidah, menipu, dan bahkan menjadi pelaku korup yang semakin
marak terjadi.
Guru
tampil sebagai sosok orang tua di kalangan murid-muridnya. Berusaha bersinergi
dan berkolaborasi dengan siapa pun. Jika pun ada yang tersandung dengan perilaku
asusila dan berbagai kejahatan lain, itu hanyalah oknum yang belum siap
menyandang status sebagai guru. Ia juga tidak mewakili institusinya sebagai
guru. Sifat sisi manusianyalah yang ia pertaruhkan. Sebagai manusia ia hanya
lupa dengan predikat yang ia sandang sebagai seorang guru. Sangat berbeda
dengan sekelompok orang dalam suatu lembaga – bahkan lembaga terhormat
sekalipun – yang dengan sengaja melakukan ”kejahataan” secara bersama-sama
seakan tak ada lagi rasa malu atas lembaga “terhormatnya” itu.
Guru
memang senantiasa dihadapkan pada dilema atas pekerjaaan yang mulia pembaharu
anak bangsa. Di satu sisi ia ingin melihat anak didiknya tumbuh menjadi anak
bangsa yang meiliki perilaku paripurna dengan akhlak mulia. Memiliki nilai
hidup yang agung serta norma dan adat-istiadat yang beradab serta kejujuran yang
semua orang menilai bahwa itu baik. Namun pada saat yang sama kehidupan politik
juga senantiasa mewarnai perjalanan hidupnya. Politisasi pendidikan tidak
jarang kita dengar sangat mempengaruhi proses pendidikan yang terjadi di bagnsa
ini. Bagi pelajar yang masih belia, belum cukup umur itu tidak menjadi soal.
Akan tetapi sangat berbeda dengan mereka yang sudah dewasa dan memiliki hak
untuk memilih. Intrik-intrik politik agar mengikuti alur politik tertentu
sangat berpengaruh bagi mereka - kalau tidak dengan bernada ancaman. Suatu
bentuk betapa kisruhnya kehidupan politik yang masuk secara langsung dalam
dunia pendidikan.
Terhadap
guru dan institusi pendidikan lain lagi, tak serupa tapi sama. Praktik
pengkerdilan lembaga-lembaga pendidikan harus mengekor kepada kebijakan yang sesungguhnya
tidak menumbuhkan kemandirian bagi lembaga itu sendiri. Tak jarang suatu
tingkat pendidikan menyelenggarakan suatu pendidikan atau pun pembangunan tidak
sesuai dengan yang seharusnya mereka kerjakan. Sebelum memulai, lembaga itu
harus telah menyetujui alur trek tertentu. Akibatnya bisa saja tujuannya yang
dibutuhkan untuk peningkatan kecerdasan tetapi malah pertambahan gedung yang
mesti dilakukan, demikian juga dengan mobiler kelengakapan sekolah yang
sebenarnya justru lebih dibutuhkan.
Sederhananya,
sebagai guru, sikap, sifat dan perilakunya yang harus digugu dan ditiru dalam
upaya mencerdaskan bangsa adalah harga mutlak yang harus dimiliki. Kompetensi
dan keterampilan adalah pelengkap sosoknya sebagai panutan. Namun pada saat
yang sama jika bangsa ini ingin berubah secara signifikan, maka sebaiknya
bangsa ini berani mencontoh kemajuan pendidikan bangsa lain dengan reformassi pendidikan.
Tingkatkan fasilitas pendidikan dengan menfokuskan pada tuntutan dunia kerja
secara simultan, namun pertahankan model pendidikan yang telah teruji
kemanfaatannya tidak dengan mengikuti pergantian pemegang otoritas pendidikan
yang tidak memperhatikan hasil-hasil baik yang telah tercapai sebelumnya. Wallahu
a’lam bisyawab.
Malino, 25 Oktober 2023
Komentar
Posting Komentar
Only positif comment will be apreciated