UMAR BAKRI KAMPUNG ARA
Hasyim. Sebuah nama yang diberikan oleh guru kelas yang bernama ibu Masira. Seorang guru kelas saya ketika itu. Nama itu disesuaikan dengan nama yang diberikan oleh kedua orang tua saya saat lahir. Saya lahir tanggal 8 Mei 1976.
“Jadi namamu
Ibu ganti ya. Kamu harus punya nama sekolah. Tidak boleh menggunakan nama
kampung. Ibu sesuaikan saja nama kampungmu ya. Kamu namanya Hasyim.” Kata ibu Masira
kala itu.
Nama kampung
sesuai aqiqah, La Simang. Menurut penuturan Ibu saya- Yubang, itu bermakna
‘massimang’. Artinya saya sudah merupakan anak yang terakhir. Dalam bahasa
Bugis, massimang atrinya undur diri. Ketika kita bertamu ke rumah tetangga atau
sanak family, jika hendak pulang biasanya kita mohon pamit untuk pulang.
Sebagai adat sopan santun bahasa yang baik diucapkan adalah kata massimang. “Massimangna’
yolo’ ’’, artinya saya permisi pulang dulu.
Secara
etimologi kata massimang ini juga diartikan mengakhiri sesuatu. Jadi dalam
benak Ibu saya ketika memberi nama ini ia ingin menegaskan bahwa sayalah
anaknya yang terakhir. Ia tidak ingin melahirkan lagi. Selain umurnya yang
memang sudah tua, ia juga sudah merasa tidak cocok lagi untuk melahirkan, ada
rasa malu juga pada orang sekampung. Demikian menurutnya.
Ibu dan ayah
saya-La Eppe, adanya saya merupakan hasil dari pernikahannya yang kedua. Pada
pernikahannya yang pertama Ibu saya dikaruniai delapan orang anak, sementara
saya di pernikahan keduanya dua bersaudara. Demikian juga dengan ayah saya. Pada
pernikahan pertamanya sudah memiliki dua anak perempuan. Namun sebenarnya
mereka berdua masih sepupu duakali. Di warga Bugis banyak mereka yang menikah
atas dasar keluarga dan memang pilihan orang tua.
Jika
dijumlahkan, saya bersaudara ada dua belas orang. Sebuah keluarga yang tergolong
keluarga besar. Tapi memang tidak semua tinggal sama ibu karena ada beberapa
saudara dari ibu sudah berkeluarga. Sementara sauadara dari ayah memang tidak
pernah tinggal seruamah. Tersisa dua saudara saja dari ibu yang belum
berkeluarga dan tinggal bersama. Keduanya perempuan. Walaupun kadang suatu
waktu ada saudara perempuan yang lain dari ibu datang bermalam beberapa hari
jika tidak sedang mencari rejeki di tempat lain. Itu karena ia sudah harus
menjadi single parent.
Dalam
perjalanan hidup, memang tidak dapat ditentukan. Bahkan memprediksinya pun
sulit. Apalagi jika seorang anak lahir dari keluarga yang berkekurangan.
Tinggal di
Gua
Dalam kurun
waktu tahun 1976 - 1983 saya mengembara bersama kedua orang tua dari gunung ke
gunung dan dari lembah ke lembah. Sejak kecil saya sudah terbiasa hidup di
gubuk beratapkan pelapah dan ijuk enauh (areng) dan beralas tikar dari semacam
daun pandan namun berduri yang orang di kampung menyebutnya – banga - diambil
dari hutan sekitar tempat tinggal. Saya lahir di Ara sebuah nama Dusun di
wilayah Kecamatan Donri-Donri Kabupaten Soppeng. Berjarak sekitar 15 km dari
arah barat kota Watansoppeng. Jika berdiri di pelataran Masjid Darrussalam
Watansoppeng, lalu memandang ke arah barat akan terlihat hamparan pegunungan
yang sedikit berkabut. Ketinggiannya berkisar 300 mdpl – 700 mdpl. Di sanalah
saya berasal.
Di dusun ini,
ada wilayah yang diberi nama Palong-Palonge. Letaknya masih tergolong wilayah
kampung Ara. Berjarak sekitar 3 km dari pusat kampung Ara. Jika ke barat kita
akan tersambung dengan kampung sebelah yaitu Lompo’tiang dan Walemping. Kedua
daerah ini jika ditelusuri ke barat maka kita akan sampai pada perbatasan
Kabupaten Barru yang saat ini tengah diadakan pengerjaan pembangunan jalan yang
menghubungkan Soppeng dan Barru. Sementara jika mengambil jalan kearah selatan
maka kita akan sampai ke kampung Ara menuju Teppo’e, seterusnya ke Cirowali dan
kembali ke kota Watansoppeng.
Sebagai
peladang berpindah, pada umumnya dalam menempati suatu wilayah hanya 1 – 3 tahun
harus berpindah tempat lagi. Meskipun tetap pada wilayah yang hanya dibatasi
oleh sungai atau lembah. Entah di usia berapa dan perpindahan tempat yang ke
berapa saya mulai mengingat sesuatu. Mungkin saat itu, usia saya tiga atau
empat tahun ayah berpindah menggarap tanah di lembah gunung Ara, Sapperiaja.
Sebuah lembah Gunung Ara di sebelah Barat Daya Palong-Palonge, tempat lahir
saya. Jarak antara keduanya ada puluhan kilo. Perjalanan ke tempat ini sekitar
2 setengah sampai tiga jam. Di tempat ini ada sebuah Gua yang berukuran sekitar
2X4 meter. Di Gua inilah kami tinggal berempat. Di sekitar Gua merupakan kebun
yang luasnya sekitar 1 hektaran. Depan gua dibuat bale-bale untuk MCK, dan di
sisi kanan gua dijadikan dapur untuk memasak.
Ayah saya
bercerita kalau tempat ini memang sejak dari buyutnya dulu menempati wilayah
ini. Semacan warisanlah dari keturunannya. Tapi jangan ditanya tentang
sertifikat tanah. Karena itu pasti tidak ada. “Jadi jika sekarang kembali ke tempat
ini itu wajar tidak akan ada warga Ara yang berkeberatan. Sudah seperti itu
caranya menempati suatu lahan garapan.” Kata ayah menjelaskan.
Buyut mereka
sudah sepakat dengan warisan turun temurun atas penempatan suatu wilayah. Bila
akan kembali mengolah tanah pada tempat yang buyutnya sepakati sejak dulu, maka
itu seharusnya mamang demikian. Suatu hokum adat yang telah tertanam bagi
mereka.
Di selah-selah
kesibukannya berkebun, ayah selalu mengingatkan bahwa kami anak-anaknya tidak
boleh ada yang tidak sekolah.
“Assikolako
mbo’. Tennapodo iyya’na tomatuammu madongo’. De’gaga wisseng. Tewwissengi
mabbaca nennia maroki.” Ujarnya. “Maega jama-jamang pura woloi, iyakkiya usorori
maneng. Wissessa rekengi siaga ellinna anu ubalu’e iyakkiya kunasuro’na mooki’i
punggawaku, de’na gaga wisseng.”Lanjutnya mengenang dengan mata berkaca-kaca
bertanda begitu berharap agar kami anak-anaknya tidak mengikuti jejaknya yang
buta huruf.
Memang banyak
pekerjaan yang pernah ayah tekuni. Ia pernah ikut berjualan ikan. Hasilnya
lumayan. Tapi itu tidak dapat bertahan. Sebabnya karena tidak tahu mencatat
transaksi yang ia sudah lakukan. Pernah menjadi penjual pakaian keliling (door
to door), namun juga hanya sebentar. Alasannya sama, tidak ada catatan
seberapa banyak yang sudah terjual. Akhirnya harus kembali bertani. Selain itu,
ia juga biasa bekerja menyadap enauh untuk dijadikan gula merah (areng).
Saya hanya bisa
menyimak apa yang ia sampaikan. Saya juga tidak tahu apa itu sekolah. Saya
hanya tahu bermain dan bermain. Juga tidak tahu nantinya mau jadi apa ketika
sudah dewasa.
Di sekitar Gua
tanahnya miring mungkin 300-an. Saya dan kakak saya-Aming-
mengesplornya sesuai imajinasi kami. Ada saatnya kami menjadikan lingkungan
sekitar Gua menjadi tempat perosotan, bermain rumah-rumahan, atau kami
mengambil sebilah parang kemudian ke hutan mencari sesuatu yang bisa dimakan. Atau
sekedar mengembara seharian di hautan dekat kebun.
Selama tinggal
di Gua, ayah menanam benih padi sebagai tanaman utama. Jenis padinya biasa
dikenal dengan padi Gogo atau beras merah. Berbagai hama yang biasa membuat
ayah kuatir. Namun yang menjadi musuh utama adalah hama tanaman dari jenis
hewan seperti babi hutan dan monyet. Selain kadang juga dari hama tikus atau
yang lainnya seperti walang sangit yang memang musuh petani pada umumnya. Namun
suatu hal yang saya ingat ayah saya percaya dengan doa-doa yang ia panjatkan
untuk mengurangi gangguan hama tikus. Entah benar doa itu sebagai pengaruhnya
atau tidak, terbukti hama tikus tidak pernah menjadi pengganggu utama tanaman.
Upaya untuk
mengatasi gangguang hama itu, ayah juga membuat pagar keliling dari batu. Untuk
membuatnya agar lebih tinggi ditambahkannya beberapa kayu sebesar lengan
anak-anak belasan tahun atau lebih besar dari itu. Dalam imajinasi saya sebagai
seorang anak kecil yang belum tahu apa-apa, saya biasanya ikut-ikut saja
bersama ayah ketika sedang membangun pagar. Tak jarang sebenarnya kehadiran
saya menemaninya hanya menjadi “pengganggu” karena hanya membuat ayah kesal
dari tingkah laku saya. Tapi saya sebenarnya heran dalam mengenang sikap ayah.
Dia tidak pernah mengajak saya, apalagi memaksa untuk membantunya bekerja.
Apapun jenis pekerjaan yang ia sedang lakukan.
Sosok ayah di
mata saya sekalipun ia buta huruf, ia adalah tokoh pendidik yang saya segani.
Shalatnya juga tidak rutin. Tapi ia sangat menghargai pendidikan. Cara mendidik
kami juga sangat memberi kesan. Ketika marah, itu kami tahu betul alasan
mengapa ia marah. Singkatnya sebgai ayah, rasanya begitu penyayang tapi juga
menjadi panutan sebagai seorang yang kami hormati-Subhanallah. Tapi memang
bukan hanya kami anak-anaknya yang hormat padanya. Keluarga dekat dan jauh pun menjadikan
ayah sebagai ‘tomatoa’ yang berarti orang yang dituakan. Didengar apa yang ia
sampaikan kepada sanak saudara.
Jika tiba masa
tanam ataupun masa panen ia dipercaya untuk menjadi penghulu dalam memulai
kegiatan itu. Sebagaimana acara seperti akan memulai masa tanam, namanya
‘maddojabine’, semalaman digunakan untuk membaca ‘lontrara’ atau
‘massure’-membaca surat lontara’. Sama seperti pada saat tiba masa panen. Ayah
selalu menjadi penghulunya. Dalam acara itu diramaikan dengan ‘mappadendang’
yang diwarnai dengan alunan bunyi lesung dan aluh bertalu-talu sehingga
kedengaran ada irama khas pertanda musim panen telah dimulai. Itu juga berlangsung
semalaman.
Suka duka
tinggal di Gua benar-benar tidak dapat saya lupakan. Ketika malam tiba, hawa
dingin begitu terasa. Tempat tidur yang hanya seluas dipang (bale-bale)
berukuran pas memuat hanya empat orang. Dua orang dewasa ditambah 2 anak umur
3-5 tahunan.
Pada musim
kemarau, kami sedikit beruntung karena hanya berjuang melawan dingin di malam
hari. Namun sangat berbeda ketika musim hujan datang. Ada saatnya kami harus
terbangun di tengah malam karena rembesan air di selah-selah batu Gua sebagai
atap tempat tinggal. Belum lagi jika kami harus tergigit lipan sebesar jari
manis orang dewasa. Kadang juga kami dikagetkan dengan munculnya tikus hutan
yang menyerang ayam peliharaan kami secara tiba-tiba. Namun yang paling kami
waspadai adalah ular sanca yang sewaktu-waktu bisa saja datang tak terduga
menyerang dan mamangsa kami. Untungnya, kekuatiran yang terakhir ini tidak
pernah terjadi sampai kami harus berpindah ke tempat yang lain lagi.
Ayah berpesan,
“Hidup di hutan seperti ini kita harus pelihara hewan. Setidaknya ketika ular
datang mencari mangsa, yang diserang terlebih dahulu adalah hewan peliharaan.
Jadi kita bisa terhindar dari serangan mereka.” “Setidaknya kita ada waktu
untuk mengusahakan segala sesuatu untuk menghindari serangannya sebelum
benar-benar memangsa kita.”
Petuahnya ini
memang benar adanya. Sudah ada beberapa bukti yang pernah terjadi. Kalau bukan
ayamnya yang dimangsa ular, ya anjingnya. Itu karena pada umumnya orang kampung
seperti kami memelihara dua jenis hewan tersebut. Orang tua saya juga
memelihara kedua jenis hewan ini.
Di Puncak
Gunung Ara
Berpindah dari
Gua, kami kemudian tinggal di Puncak Gunung Ara. Ayah membopong kami bertiga
untuk melanjutkan hidup di Puncak gunung. Saya tidak tahu kenapa kami harus
tinggal di ketinggian 700-an mdpl. Tapi ayah beralasan tanah garapan sebelumnya
sudah tidak produktif lagi. Sudah tidak baik lagi digunakan untuk menanam padi.
Sebagai pilihan adalah tanah yang dulu pernah mereka tinggali bersama buyut
kami. Alasan yang sama itu selalu menjadi poinnya di setiap kami berpindah dari
satu tempat ke tempat lain.
Tinggal di
puncak gunung benar-benar memberi saya pengalaman yang sangat berbeda dari
lingkungan sebelumnya. Angin yang berhembus cenderung lebih kencang ditambah pohon-pohon
di sekitarnya tidak dapat tumbuh lebih tinggi. Hanya semak-semak yang terhampar
luas sepanjang mata memandang.
Suatu waktu
menjelang magrib. Badai tiba-tiba datang. Saya dengan kakak sedang diminta oleh
ibu untuk mengambil sesuatu di dekat sumur yang berada di luar pagar kebun.
Pada awalnya,
rintik-rintik hujan masih dapat kami tembus. Namun di tengah perjalanan, kami
melihat hujan semakin deras disertai angin kencang. Begitu derasnya air hujan yang
mengenai kami akibat tiupan angin, muka dan badan kami seakan dipukuli
bertubi-tubi dengan sebatang lidi dari sapu. Sakitnya bukan main. Tapi bukan
itu yang menjadi ketakutan terbesar kami ketika itu melainkan angin taupan yang
hendak menerbangkan kami. Sambil menagis namun tidak tahu mau minta tolong pada
siapa. Menyadari semakin kencangnya hembusan angin, saya mencoba bertahan
dengan berpegangan pada pohon terong tanaman ayah. Kakak saya di depan
sementara juga mencoba untuk bertahan agar tidak terlempar oleh angina. Namun
dalam sekejab, tiba-tiba tidak sanggup lagi melawan kencangnya angin dan
akhirnya ikut berpegangan pada tanaman terong yang sementara menopang saya.
Akhirnya kami berdua terhempas dan bergelinding seperti bola hingga mencapai ke
pangkal pagar di pinggir kebun.
Cukup jauh
kami digelindingkan badai saat itu. Mungkin ada puluhan meter. Rasa sakit
seluruh badan jangan dibilang lagi. Tapi saya tidak focus pada sakit yang kami rasakan
pada saat itu.. Yang ada hanya rasa takut dan gemetaran yang terjadi. Saya
pikir mungkin waktu itu sudah ajal kami berdua. Kedua orang tua juga tidak
berani keluar menolong kami karena memang anginnya sangat kencang. Ayah juga
tidak tahu kalau ibu menyuruh kami mengambil sesuatu di tengah hujan yang
deras.
Dalam keadaan
badan gemetaran oleh ketakutan dan dingin, dalam hati kecil saya juga agak
tidak setuju terhadap apa yang baru saja kami alami. Saya berpikir kenapa juga kakak
saya ikut berpegangan pada terong yang sama yang tengah saya pegang. Itu pasti
tidak akan bissa menopang kami berdua. Angin sekencang itu dengan sebatang
pohon sayuran seperti terong, menahan satu orang pun rasanya tidak akan bisa. Tapi
itu semua hanya penyesalan saya. Saya juga tidak berani mengungkapkan kepada
kakak. Takutnya malah nanti saya kena pukul darinya.
Prahara itu
berlangsung mungkin lima-belasan menit. Sebelum akhirnya ibu datang menolong.
Di rumah yang beratapkan pelepah dan ijuk enauh, terlihat ayah tengah duduk di
depan dapur sambil memanaskan kedua telapak tangannya. Kebiasaan ayah ketika
sehabis berkebun dan berbasah-basahan seharian di kebun ia menghangatkan kedua
telapak tangannya.
Berpindah
ke To Palira’
Setelah satu
tahun, mungkin lebih bermukim di Pancak Gunung, oleh ayah tujuan kami
selanjutnya adalah kembali tinggal di lembah, masih gunung yang sama, namun
sedikit bergeser ke sebelah barat, namanya To Palira’. Nama ini juga saya
kurang tahu maknanya. Tapi itu ada sejaranhya namun saya lupa. Jaraknya
berkisar 5 kiloan meter dari Sapperiaja. Petualangan di tempat ini tidak kalah
menariknya dari kedua tempat sebelumnya. Saya katakan menarik, karena tak dapat
saya lupakan. Meskipun sesungguhnya tidak semenarik dengan kemudahan hidup dan
kesenangan. Tetapi malah sebaliknya.
Di awali
dengan musim hujan yang terasa panjang lebih lama dari biasanya. Itu terjadi
setelah kemarau yang juga terasa agak lama. Mulailah terjadi tanah longsor di
mana-mana. Di walemping, terdengar kabar kalau saudara kandung ibu-La Hame’-
terkena musibah tanah longsor. Mereka bersama dua cucunya tengah berada di
kebun di pedalaman, juga jauh di hutan, di wilayah kampung Walemping. Rumahnya
terbawa longsor tak tersisa. Untungnya ia masih selamat, namun kedua cucu dan
istrinya tidak dapat ditemukan lagi. Hanya dua ekor kucing yang didapatkan di
atas longsoran padahal menurut pengakuan Wa’ Hame’-demikian kami menyebut om,
sebelum kejadian, kedua ekor kucing tersebut tidak pernah telihat di sekitar
rumahnya.
Di Ara
sendiri, kami tidak bisa ke mana-mana. Hasil panen ayah ketika itu hanya berupa
jagung yang sengaja ditanam sebagai persiapan pengganti beras karena padi tidak
berhasil akibat kekeringan. Ketika hujan mulai turun, ayah pun bersama petani
lainnya memilih jagung untuk ditanam sebelum tiba masa yang cocok untuk menanam
padi.
Akibat hujan
yang terus berlangsung, bahkan sudah seminggu, ayah tidak dapat ke kampung Ara
yang memang letaknya berada di antara dua sungai-Ara dan Teppo’e. Kekuatiran
juga jika sewaktu-waktu terjadi longsor sementara dalam perjalanan.
Akibat dari
hujan yang tanpa henti, jembatan bambu yang menjadi penghubung penduduk untuk
ke kota dan dari kota ke kampung juga sudah terbawa air sungai oleh banjir.
Sekiranya sperti sekarang, kami semacam ter-lockdown oleh keadaan. Mau
tidak mau kami hanya dapat mengkonsumsi jagung sebab persediaan beras sudah
habis. Ada beberapa ikat padi, tapi tidak dapat diolah menjadi beras. Itu juga
sebagai persiapan untuk musim tanam nanti jika keadaan memungkinkan.
Di tengah
kesulitan pangan yang kami alami, sebagai anak bungsu, ibu selalu
menomersatukan keluhan saya. Jagung yang sudah direbus lalu ditumbuk kemudian
dijadikan pengganti beras kadang terasa masih kasar dan tidak enak untuk
ditelan. Masih ada sebagian kulit kasarnya yang keras sisa-sisa pembersihan
setelah ditumbuk. Saya susah makan itu dan karena saya ‘majabe’-cengeng. Bahkan
kadang mengancam ibu kalau saya tidak mau makan jika makanannya seperti itu.
Sikap tanggap
dan kasih sayang ibu -Subhanallah- ia segera berinisiatif untuk mebuatkan ‘bessang’-sejenis
jagung olahan pengganti beras- sesuai keinginan saya yang bersih tanpa kulit
kasar yang terasa lebih mudah untuk ditelan. Namun itu sekali lagi kalau bukan
karena sayangnya, pasti sulit dilakukan. Manalagi bukan hanya itu yang harus ia
urus. Sungguh luar biasa dalam setiap keluhan saya ibu selalu hadir menjadi solusi
terbaik, walau sekecil apapun. Ketidakmampaunnya untuk baca tulis, tidak
membuatnya menjadi sosok yang tidak mengerti buat anak-anaknya.
Selama musim
hujan yang berkepanjangan itu, praktis kami satu keluarga menjadikan jagung
sebagai makanan pokok. Lauk yang menjadi pilihan untuk kami nikmati bersama
jagung juga hanya bersumber dari hasil tanaman yang seadanya seperti tomat atau
cabe. Ikan kering yang biasanya menjadi makan favorit kami juga sudah tidak
tersedia lagi. Singkatnya ‘terlockdown’ benar-benar terasa mengurung kami.
Ayah
menghitung, sesuai pengalaman pengamatan langitnya-ilmu falaklah kira-kira seperti
itu- memang perhitungan akan lamanya turun hujan itu ada hitung-hitungnya. Tapi
itu sama sekali hanya pengalaman yang didapat dari buyutnya juga. Ada masa yang
ayah sebut ‘duakkasera’-dua kali sembilan. Berarti lamanya akan turun hujan
diperkiran berlangsung selama 18 hari. Itu salah satu yang saya ingat.
Menurutnya keadaan bulan di subuh hari juga bisa menjadi tanda apakah selama
bulan itu akan ada banyak turun hujan atau tidak. Perkiraan itu juga saya tidak
tahu seperti bagaimana sampai pada kesimpulan banyak tidaknya akan turun hujan.
Kurang tahu
tepatnya berapa lama kami bertahan di To Palira’, kami pun sudah saatnya lagi
angkat kaki dari tempat itu untuk melanjutkan hidup di wilayah yang dekat
dengan Sapperiaja, tepatnya di bagian atas Sapperiaja. Berjarak sekitar dua
atau tiga kilo dari Sapperiaja.
Tinggal di
Aju Sipong
Petualangan
dari gunung dan lembah kemudian berlanjut ke daerah yang sedikit lebih dekat
dengan kampung kami, Ara, yakni Aju Sipong. Aju berarti kayu dan sipong berarti
sepohon. Entah apa maksudnya secara spesifik, namun itu juga tidak terlepas
dari sejarah hingga dinamakan demikian. Aju Sipong berarti kayu sepohon.
Di usia tujuh
tahun saya sudah harus memulai petualangan yang sesungguhnya, bersekolah.
Sesuai pesan ayah, saya harus sekolah. Tidak boleh mengikut dengan pengalaman
ayah apalagi jaman yang akan saya hadapi akan jauh berbeda dengan masanya.
“Jangan tidak
sekolah. Kalau mau ke mana-mana kamu harus tahu membaca atau menulis. Jangan
seperti kerbau. Kerbau juga bisa ke mana-mana tapi hanya untuk dipotong
dijadikan makanan.” Katanya menggambarkan.
Petuah itu
disampaikannya dalam bahasa Bugis. Pesannya itu benar-benar menjadi pemantik
cita-cita saya. Namun belum tergambar nantinya mau jadi apa. Intinya saya harus
bisa baca tulis. Tidak boleh seperti kerbau yang dibawa ke mana-mana tapi hanya
untuk dipotong. Suatu wejangan yang tidak bisa saya lupakan.
Untuk mewujudkannya
saya harus sekolah. Usia saya juga sudah sesuai ketentuan, 7 tahun. Tapi jangan
bicara soal TK. Saya tidak pernah tahu kata itu apa lagi tentang jenjang
sekolah itu.
Hal pertama
yang menjadi tantangan saya adalah jarak dari gubuk tempat tinggal ke sekolah
yang begitu jauh. Belum lagi medan yang harus ditempuh ke sekolah. Secara
kasar, jarak sekolah tujuan dengan kampung Ara tidak kurang dari 5 km,
sementara jarak dari tempat tinggal kami bersama kedua orang tua juga tidak
kurang dari 3 sampai 4 km ke kampung.
Jika berangkat
dari tempat tinggal orang tua di jam 6 pagi itu artinya kami ketinggalan dari
teman-teman di kampung yang sudah berangkat biasanya paling lambat pukul 5.30.
Sementara jalur yang paling efisien yang dapat kami tempuh satu-satunya adalah
ke kampung terlebih dahulu lalu ikut bersama teman ke sekolah. Letak kampung
yang berada di pesisir sungai Ara yang diapit oleh aliran sungai Teppo’e
mengharuskan saya turun gunung dulu lalu mendaki lagi melewati gunung sebelum
kemudian ke Galunglangi’e di mana sekolah saya berada.
Jika kebiasaan
anak-anak di kampung berangkat ke sekolah pukul 5.30 pagi maka lama perjalanan
biasanya 1 jam 15 menit sampai 1 jam 30 menit. Jadi tiba di sekolah 7.15 atau
7.30. Di hari senin sebagaimana biasa ada upacara bendera. Kami takut terlambat.
Jadinya kami biasanya mempercepat langkah dari biasanya atau berangkat lebih
awal.
Jika kami
merasa agak kesiangan, sementara teman yang lain sudah jauh di tengah
perjalanan, maka target kami adalah dapat menyusul mereka dengan sedikit
berlari. Jatuh bangun karena terpeleset sudah hal yang biasa bagi kami. Sebagaimana
biasa karena keadaan sekonomi yang benar-benar terasa sulit, saya jarang
mengenakan sandal walau hanya sandal jepit swallow yang satu-satunya
kami kenal.
Soal sepatu
apalagi. Tidak jarang guru di sekolah bernada mengancam jika tidak mengenakan
sepatu saat upacara. Tapi kami hanya bisa pasrah dan jujur kalau orang tua
belum bisa belikan. Jika lagi beruntung, gurunya memaklumi. Tapi ketika sudah
agak emosi biasanya ada nada ancaman. Hal tersebut kemudian akan menjadi
pemikiran berat bagi kami. Kami tahu bahwa orang tua benar-benar berada di kondisi
yang sulit.
Sepulang
sekolah, sebagaimana biasa, sekolah berlangsung dari jam 7.30, dua kali
istirahat lalu jam pulang pada pukul 1 siang. Kami dapat memilih perjalanan
pulang bisa lewat jalan yang biasa kami lewati ke sekolah atau turun ke jalur
pesisir sungai. Namun satu hal yang selalu menjadi kekuatiran saya adalah
terjatuh saat perjalanan. Selain itu lewat sungai berarti pasir panas yang
harus kami injak yang bergantian dengan batu yang juga panas bergantian lagi dengan
air. Memang terasa lebih sejuk melewati kelok-kelok pesisir sungai tapi
panasnya telapak kaki jadi taruhannya. Dapat juga buku basah dan barang bawaan
lain sperti sepatu bagi yang punya.
Berjalan tanpa
alas kaki atau setidaknya mengenakan sandal mengakibatkan kaki saya bermasalah.
Pada telapaknya, kaki saya sampai dipenuhi lubang-lubang. Ada semacam pori-pori
berbentuk melingkar di bagian tumitnya. Ngeri melihatnya, tidak sakit tapi
seperti telah digerogoti rayap.
Saya pikir itu
tidak mungkin sembuh lagi. Selain karena tidak tahu apa penyebabnya juga karena
tidak tahu apakah berupa penyakit atau bukan. Kalau penyakit juga kami tidak
tahu jenis penyakit apa, dan juga memang tidak terasa sakit.
Tanpa saya
sadari ternyata ayah tahu kalau kaki saya berlubang-lubang. Ternyata ayah tahu
cara penyembuhannya. Berkat petunjuk ayah, saya menccoba melakukan seperti apa
yang disarankannya. Dengan cara mengosok-gosokkan di atas permukaan batu sungai
yang agak kasar untuk mengikis pori-pori kaki yang berlubang, ternyata hal itu
berhasil. Cara demikian benar bisa menghilangkan motifnya itu. Cukup sederhana.
Perjalanan
kembali ke rumah melewati pesisir sungai hanya bisa dilakukan saat musim
kemarau. Itu pun hanya saat pulang sekolah. Ketika berangkat ke sekolah
satu-satunya jalan adalah lewat darat saja, yakni jalan yang kami lewati
sehar-hari ke sekolah. Saat musim hujan selain karena berbahaya, juga dilarang
oleh orang tua kami lewat pesisir sungai. Kami juga cukup paham akan hal itu
karena biasanya selalu terjadi banjir di musim hujan.
Namun
perjalanan ke sekolah saat musim hujan tiba akan terasa jauh lebih berat.
Melewati pegunungan untuk sampai ke sekolah tidak jarang dalam keadaan basah.
Buku-buku yang kami bawa, apalagi kalau tidak punya tas, dan memang sangat
langka dari kami yang punya tas, biasanya basah semua. Andalan kami jika
beruntung orang tua dapat belikan terpal dari plastic bening yang lentur. Kami
gunakan untuk membungkus badan kami sampai ke mata kaki. Buku bawaan kami
selipkan dipunggung di antara badan dan baju. Mungkin sedikit basah tapi tidak
parah.
Seiring
berjalannya waktu, ketika sudah duduk di kelas tiga, saya sudah lebih tegar dan
menganggap perjalanan rutinitas kami ke sekolah bukanlah yang susah lagi
seperti sebelumnya. Ketika itu kakak sudah di kelas enam. Kami sudah sering
memilih jalan alternatif lain tidak lagi harus ke kampung terlebih dahulu kemudian
berangkat ke sekolah bersama-sama. Beda jaraknya memang tebilang jauh, tapi
kami merasa itu lebih efisien. Walaupun di awal-awal dulu kami ke sekolah kami
menganggap jalanan yang kami pilih ini mustahil kami lewati.
Berdua dengan
kakak, sudah lebih sering memilih menyeberang sendiri melewati lembah memotong
sungai lalu mendaki kemudian berbelok menurun menuju ke sekolah. Kadang karena
faktor cuaca, teman dari kampung berhalangan hadir ke sekolah. Sesampai di
sekolah guru bertanya, “Mana teman-temanmu yang lain, nak? Kenapa mereka tidak bersama
kamu?”
“Tidak tahu
Bu, kami berangkat ke sekolah berbeda jalur.” Jawab saya bersama kakak.
“Ow…jadi
mereka tidak ke sekolah hari ini ya?” Tanyanya lagi.
“Tidak tahu
Bu.” Jawab kami.
Keadaan itu
biasanya kami baru tahu dua atau tiga hari ke depan. Setelah kami bertemu satu
sama lain di sekolah. Alasan utamanya karena hujan yang deras.
Saya bersama
kakak biasanya juga tiba lebih awal dari mereka. Sebab kami biasanya
berangkatnya dari waktu sebelum subuh, pukul 4 pagi. Berbekal obor di tangan,
saya bersama kakak berangkat dari Aju Sipong ke sekolah. Di awal-awal kami
biasanya diantar oleh ayah sepotong jalan. Sampai di area melintasi sungai.
Setelah kelihatan mulai tersingkap pagi, ayah kembali ke rumah sisa kami
lanjutkan berdua ke sekolah. Kami biasanya sampai di sekolah pukul 6.30 atau
pukul 7.00.
Di suatu waktu
dalam perjalanan ke sekolah saya merasa ada sesuatu yang menggigit bagian atas
tumit saya. Awalnya saya mengabaikan itu. Saya pikir mungkin bukan apa-apa.
Belakangan saya sadar kalau itu adalah gigitan lipan. Ukurannya sukup besar
menurut saya. Mungkin seukuran ibu jari saya sekarang dengan panjang mungkin
20-an cm.
Akibat
gigitannya, saya memilih kembali ke gubuk dan tidak bisa melanjutkan perjalanan
ke sekolah. Karena kaki saya juga sudah membengkak dan rasanya sakit sekali. Selang
beberapa lama, di sore hari kaki saya sudah membaik. Masih kelihatan bengkak
tapi saya sudah bisa menggunakannya berjalan. Saya berinisiatif melihat lipan
itu sesuai apa yang ayah katakan. Saya pikir apa betul lipan itu akan ada di
sana di mana saya tergigit.
Berkat doa
ayah, lipan itu benar tetap berada di sekitar di mana saya merasa tergigit.
Masih hidup tapi nampaknya telah sekarat. Hanya kaki-kakinya yang sesekali masih
bergerak. Tapi saya pikir lipan itu sudah akan mati. Ayah memberitahu kalau
Allah berkenan, lipan itu memang akan mati karena sudah menggigit saya dan saya
tidak mengganggunya lebih dahulu. Pemandangan yang sekali lagi membuat saya
takjub.
Semangat saya
untuk tetap sekolah kemudian harus teruji lagi. Setamatnya kakak di SD, saya
tidak punya pilihan lain kecuali mencoba peruntungan tinggal di kampung. Ada
beberapa keluarga yang dipilihkan orang tua. Mereka pada umumnya masih ada
hubungan keluarga meskipun sudah sepupuan sekali atau dua kali. Namun inilah
masa yang terberat bagi saya ketika itu. Seminggu rasanya begitu lama terpisah
dengan kedua orang tua. Tinggal bersama keluarga yang sepupuan juga membuat
saya sangat tidak terbiasa. Tapi dalam hati saya harus bisa menyelesaikan
sekolah di SD. Itu tekad saya sampai detik itu. Hingga pada akhirnya saya masih
tetap bisa bertahan untuk meyelesaikan sekolah.
Menempuh
Ujian Kelulusan di SD
Di akhir-akhir
masa sekolah di SD, saya sempat tinggal di kampung bersama keluarnga dari ibu.
Masih sepupuan dengan saya. Ayahnya bersaudara dengan ibu saya. Hanya kembali
ke gubuk di Aju Sipong pada setiap akhir pekan.
Selama berada
dan tinggal di kampung, tekad dan cita-cita juga sudah sering ada di benak
saya. Terutama ketika melihat keseharian salah satu bapak guru saya yang
bernama pak Ridwan. Ia berasal dari Desa Ukke’e. Satu desa dengan kampung saya.
Masih bujang. Pokoknya beliau adalah idola bagi saya saat itu.
Saya berpikir,
pak Ridwan setiap hari ke sekolah, pekerjaannya pergi mengajar. Tapi ketika ada
acara-seperti pengantin di kampung- biasanya dia tidak mau ketinggalan untuk
ikut nimbrung. Itu hal yang luar biasa menurut saya. Dia tetap bisa melanjutkan
hidup. Bersahaja, tidak terlalu susah nampaknya pekerjaannya. Dia bisa dapat
gaji dari pemerintah setiap bulannya, menurut orang-orang. Sampai dalam hati
saya juga mau seperti pak Ridwan. Tapi bukan hanya karena gajinya itu yang
membuat saya semakin berangan-angan untuk menjadi guru. Pikiran dan dugaan saya
kalau pekerjaannya tidak sesulit apa yang selama ini saya saksikan dari
keseharian ayah.
Di pagi buta
ayah sudah harus keluar rumah untuk berkebun. Sering ketika belum waktunya
menabur benih padi, pembersihan kebun terlihat sangat membosankan. Belum selesai
dibersihkan di ujung timur rumput di barat, selatan, timur sudah pada tumbuh
subur.
Suatu waktu
saya mencoba membantu, tapi baru seukuran semester persegi, saya sudah merasa
putus asa dan berpikir kapan bersihnya kebun ini. Belum lagi mebuatkannya pagar,
sembari membersihkannya secara terus menerus sampai hasilnya bisa dipanen.
Pekerjaan yang benar-benar membosankan. Tapi apakah memang mungkin saya bisa seperti
pak ridwan? Sekolah itu perlu uang, juga kemampuan. Soal kemapuan hanya satu
terpikirkan saat itu, kalau sekiranya saya melanjukan sekolah nantinya. Saya
tidak tahu membaca Al-Qur’an. Sementara terdengar kabar kalau di SMP itu harus sudah
tahu membaca Al-Qur’an. Mengingat hal itu, kembali menjadi pergolakan dalam jiwa
saya, akankah bisa melanjutkan sekolah atau tidak.
Dalam hati
kecil saya, apakah harus saya urungkan niat atau saya tetap pada pendirian dan
tetap lanjut nantinya. Suatu pilihan yang berat bagi saya saat itu. Sampai pada
tahap di mana kami dapat pesan di sekolah bahwa ujian akhir segera akan
dilaksanakan.
Informasi
tentang ujian akhir sudah mulai disampaikan oleh kepala sekolah di setiap upacara.
Namanya bapak H. Alif. Beliau menyampaikan bahwa untuk mengikuti ujian akhir,
EBTANAS, murid-murid harus lebih intens belajar. Yang lebih penting lagi kami
harus mempersiapkan biaya untuk mengikuti ujian. Biaya berangkat ke tempat
ujian dilaksankan dan biaya tinggal sementara waktu di rumah-rumah yang siap
menampung kami selama pelaksanaan ujian. Di selah-selah pidatonya juga
ditegaskan bahwa untuk lulus ujian, tidak boleh ada murid memperoleh angka di
bawah 6 untuk mata pelajaran PMP dan agama.
Seketika itu
saya tidak berpikir tetang betapa pentingnya kedua mapel itu, akan tetapi
bagaimana saya harus menyampaikan ke
oran tua tentanng biaya itu. Bisa tidak kami ikut ujian?. Mengingat orang tua
tidak selalu ada uang untuk biaya sekolah. Tapi apa boleh buat, dalam benak
saya inilah akhir yang ayah pesan. Saya harus sekolah. Lebih jauh harus punya
ijazah, walaupun hanya ijazah SD. Jangan sampai hanya seperti mereka berdua. Pesan
yang membuat saya tetap bisa bertahan dan tidak menyerah.
Setelah
membicarakan perihal keperluan untuk mengikuti ujian kelulusan. Ayah dengan
segalah usahanya akhirnya dapat memenuhi kebutuhan saya. Uang yang kami
butuhkan memang tidak seberapa pada waktu itu. Hanya 75 ribuan ditambah beras 3
literan plus oleh-oleh untuk pemilik rumah tujuan tempat menginap selama 4-5
hari.
Setibanya di
Ukke’e, tempat pelaksanaan ujian, kami anak kampung yang terbiasa dengan hawa dingin
harus beradaptasi dengan lingkungan yang menurut kami agak panas. Selama 5 hari
kami tinggal di tempat pelaksanaan ujian, ada beberapa di antara kami sedikit
demam, namun masih tetap bisa mengikuti ujian. Rumah yang kami tempati sendiri
adalah rumah salah satu guru kami juga, namanya pak Rustan.
Kami yang
jarang turun ke wilaya perkotaan, melihat kehidupan orang kota sedikit memberi
lagi motivasi bagi kami. Dalam benak saya, bahwa orang-orang bisa hidup seperti
itu karena sekolah. Mereka yang tinggal di sekitar rumah pak Rustan, tidak ada
lagi yang buta huruf. Saya sendiri menilai pak Rustan dan pak Ridwan adalah dua
sosok guru yang saya kagumi. Mereka berdua masih bujang tapi sudah punya
penghasilan sendiri dan bahkan tidak sesusah pekerjaan ayah. Justru malah
digaji oleh pemerintah. Elok benar pekerjaan bapak berdua ini kata saya dalam
hati setiap berjumpa beliau di sekolah ataupun saat ada acara di kampung.
Kembali ke
Palong-Palonge dan Sekolah di SMP dan SMA
Tidak tahu
persis berapa tahun di Aju Sipong, sebelum ayah kemudian memutuskan untuk
kembali tinggal di Palong-Palonge, tempat kelahiran saya. Ketika kembali ke
sini, saya juga sudah harus memulai hari-hari saya di Watansoppeng.
Di bagian
barat pusat kota Watansoppeng, tepatnya di daerah Bila Selatan namanya. Namun
masih satu kecamatan dengan kota Watansoppeng, Kecamatan Lalabata, Kelurahan
Bila. Oleh ayah, saya dititip untuk melanjutkan Pendidikan di jenjang SMP.
Sebuah keluarga yang ayah kenal karena sejak lama munkin 5 atau 7 tahunan ayah
bolak balik ke rumahnya mengurus SK sebagai seorang Veteran. Pejuang pada masa
pergolakan tahun 1949.
Oleh keluarga
ini, saya diterima untuk menumpang menjadi anggota keluarga mereka. Pada
awalnya saya berniat untuk masuk di sekolah negeri. Namun karena kedatangan
saya terlambat, akhirnya tinggal satu sekolah yang menjadi tujuan yakni SMP
Muhammadiyah Watansoppeng. Selain karena terlambat juga letak sekolah ini tidak
jauh dari rumah tempat saya dititip. Alasan lain karena sekolah ini swasta jadi
tidak sulit bagi saya untuk diterima di sekolah ini. Alasannya sekolah ini
tetap butuh tambahan siswa agar tetap bisa beroprasi.
Setelah resmi
tercatat sebagai siswa di SMP Muhammadiyah, jadilah saya anak kota juga. Seorang
anak kampung yang sama sekali buta dengan keadaan kota. Cuaca panas terasa
sangat menyiksa. Akibatnya seminggu kemudian saya mengalami sakit. Ada seminggu
lebih saya sakit karena harus beradaptasi dengan lingkungan yang baru.
Tinggal
bersama keluarga yang sama sekali juga asing bagi saya dan tentunya juga bagi
mereka. Dalam pikiran saya mau jadi apa saya di keluarga yang baru ini. Saya
harus kerjakan apa, melakukan apa, bagaimana harusnya saya bersikap dalam
keseharian saya dan banyak lagi hal lainnya. Benar-benar sesuatu yang hampir
saja membuat saya tidak tahan. Kalau saja bukan karena tekad dalam hati ingin
merubah nasib, saya pasti sudah minta kembali ke kampung.
Tinggal
menumpang memang begitu banyak hal yang menjadi pengalaman berharga. Mulai dari
belajar berkomunikasi dengan mereka, membantu, yang sebenarnya sayalah yang
dibantu dengan diterimanya di keluarga mereka; mengerjakan pekerjaan sekolah,
pekerjaan rumahan, sampai pada hal-hal yang harus manut dengan kelakuan anak
ibu angkat yang apapun harus diikuti maunya. Suatu bentuk interaksi yang saya
harus patuhi dan jalani di setiap waktu. Berbeda 180 derajat dengan kelakuan
saya di rumah bersama kedua orang tua sendiri.
Cukup lama
saya tinggal bersama keluarga ini. Sampai suatu waktu saya merasa kurang betah
dan tidak tahan lagi bersama mereka. Saya merasa kurang sabar dan mungkin itu
kekurangan terbesar saya. Rasa bersalah sebenarnya selalu ada. Mereka sudah
berbaik hati kepada saya dan keluarga saya dengan mengijinkan saya bersama
mereka. Bahkan dalam jangka waktu yang cukup lama. Sampai tiga tahun lebih.
Saya
tinggalkan keluarga itu ketika saya duduk di kelas satu SMA. Saya tidak tahu
harus berbuat apa ketika itu tapi saya merasa sudah tidak cocok lagi. Saya juga
sudah merasa cukup dewasa ketika itu. Hanya bisa berterima kasih sedalam-dalamnya
atas apa yang mereka telah bantukan yang lebih dari tiga tahun itu.
Setelah saya
pastikan kalau bisa tinggal kos-kosan tersama dua orang teman, dari sekolah
yang berbeda dengan saya, saya kemudian diajak oleh mereka bertemu dengan ibu
kosnya. Rumah kosnya sebenarnya rumah panggung. Bukan juga semi permanen. Hanya
ada penyekat triplek di kolom rumahnya. Dipaku pada bebrapa tiang rumah hingga
berbentuk kamar. Seperti kamar kos pada umumnya, ukurannya sekitar 2-3 m x 3-4
m. Di dalam kamar itu terdapat 2 dipang (bale-bale) tempat tidur. Keduanya
dapat memuat dua orang.
Saya sangat
bersyukur kenalan saya ini ternyata berasal dari keluarga sederhana walaupun
keadaan ekonomi keluarga keduanya tidak bisa dibandingkan dengan saya. Mereka
berasal dari daerah yang masih tergolong kota dibanding saya yang dari gunung. Pastilah
ekonomi keluarganya lebih baik dari saya. Itu pikiran saya.
Jadilah saya
seperti keluarga yang baru bersama mereka. Awalnya saya mengira hanya Ibrahim,
Cuplis (gelaran temannya) yang nama sebenarnya adalah Syahrir, dan saya, tapi
ternyata Cuplis ada juga kakaknya bernama Mustakim, mereka bertiga tinggal
dalam satu kamar kos. Tapi Mustakim tinggal setahun lagi sudah selesai di SMA.
Sekolah mereka juga sama, SMAN 2 Watansoppeng. Sedangkan saya di SMAN 1
Watansoppeng. Letak sekolah kami agak berjauhan. Ada sekitar satu kiloan.
Tempat kos
kami di Jl. Ksatria. Di ujung jalan itu, ke arah selatan, di Jl. Pemuda
terletak sekolah saya. Sedangkan ketiga teman saya, letak sekolahnya masih ada
sekitar satu kilo atau lebih ke arah barat daya. Tepatnya di Jl. Neneurang.
Keseharian
mereka tampaknya sangat akrab dengan ibu kos. Sekalipun tidak ada hubungan
kekerabatan antara mereka. Di suatu sore, pernah kami gunakan untuk
bercengkrama di luar kamar kos. Sebagai anggota baru, banyak yang perlu saya
tahu. Khususnya tentang saya harus bagaimana. Teman yang kami tuakan kemudian
saya tanya. Saya harus bawa apa di setiap sehabis pulang nantinya.
“Ibu kos itu
baik sekali.” Kata Ibrahim memulai. “Ia selalu memberikan lauk pauk kepada
kami. Kami cukup masak nasi saja. Lauknya ibu kos yang kasih. Sering sekali ibu
kos tanyakan apa lauk pauk yang ada telah kami siapkan sebelum makan.”
Lanjutnya.
“Jadi apa yang
harus saya bawa untuk hari – hari ke depan nanti, misalnya sehabis pulang
kampung?”
“Ow…begini
teman, kamu cukup bawa beras saja. Selebihnya boleh bahan lauk pauk kalau
ada.”Kata Cuplis menambahkan.
“Betul teman.
Kami di sini sudah sangat beruntung dapat ibu kos seperti ibu. Dia baik sekali.
Tidak perlu kuatir masalah yang lain. Cukup bawa beras saja.” Tambah Mustakim
menutup pembincangan kami.
Saya
sebenarnya mau tahu banyak tentang kehidapan ala anak kos. Ini penting karena
saya tidak tahu sama sekali bagaimana berperilaku bersama teman sesama anak kos
dan terhadap ibu kos. Di sinilah saya belajar betapa kehidupan itu penuh teka
teki dan unpredictable. Betapa Allah SWT telah menentukan garis hidup
seseorang. Saya mendapatkan teman yang baik yang secara tak disangka serta ibu
kos yang memperlakukan kami seperti anaknya sendiri.
Setelah dua
tahun berlalu, peneyelesaian studi di SMA pun tinggal beberapa bulan lagi. Saya
mulai berpikir ke mana lagi selanjutnya kaki akan melangkah. Meskipun tekad
kuat untuk lanjut ke PTN, akan tetapi persoalan biaya sekolah selalu menjadi
pemikiran. Memang belum apa-apa. SMA belum selesai, belum tentu juga lulus
sesuai cita-cita, juga orang tua belum memberikan kepastian apakah boleh lanjut
atau tidak. Uang sekolah saja di tahun kedua, sempat tertunda pembayarannya. Sampai-sampai
mendapat ancaman dari pihak sekolah saya akan dikeluarkan. Untungnya masih ada
beberapa guru yang peduli dan meyakinkan sekolah bahwa tetap akan saya bayar
nantinya.
Adalah pak
Ahmad, yang mengisi kehadiran orang tua saya di sekolah. Bahkan sampai saat ini
beliau selalu menjadi tempat saya bertanya tentang berbagai hal. Meskipun ia
telah pensiun, saya masih biasa bertemu dengannya.
Pak Ahmac seorang
guru Biologi di SMA saya. Secara langsung tidak pernah mengajar saya di kelas
karena saya di kelas IPS. Namun sering melakukan touring bersama dengan
beberapa guru dan siswa dengan berjalan kaki menyusuri beberapa perkampungan di
pegunungan. Kadang juga saya dipanggil ke rumanya untuk bermalam. Baju-bajunya
yang masih layak pakai juga kerap kali dibagikan ke saya. Pikiran-pikiran
beliau banyak menginspirasi saya sampai saat ini. Tak terkecuali tentang
bagaimana ketika misalnya saya benar-benar bisa lanjut ke PT. Sampai saya
mengajar di SMAN 5 Gowa saat ini pun juga berkat bantuannya.
Kegagalan
Selama Mencoba Kuliah di Perguruan Tinggi (PT) Negeri
Setelah Ujian
kelulusan SMA selesai. Saya membujuk orang tua agar mengijinkan saya mendaftar
ke PT. Alhamdulillah, orang tua menginjinkan. Saya pun atas kenalan dan
pertemanan sesama remaja Masjid Darussalam (RAMADAS) dapat ikut berangkat ke
Makassar dan sekali lagi menunpang di rumahnya.
Sahabat saya
ini bernama Rusman. Ada kakaknya bernama kak Rizal-demikian kami memanggilnya- yang
saat itu merupakan salah satu mantri
Rumah Sakit (RS) Dadi Makassar. Dia tinggal di messnya.
Rusman yang
dari awal tidak mau lanjut ke PT melihat saya berkeinginan kuat untuk ikut tes
SMPT, namun tidak tahu bagaimana caranya agar bisa terwujud. Setelah berbincang
tentang berbagai hal di setiap ketemu di sekolah, Rusman menawarkan saya agar
ikut dengannya mencoba peruntungan itu. Saya pun setuju saja dengan idenya.
Bahkan dalam hati saya senang sekali. Saya kemudian ikut beliau dan tinggal di
rumah kakaknya.
Selama
beberapa minggu kami berdua tinggal di rumah kakaknya. Karena Rusman memang
hanya mau melihat-lihat peluang kerja apa yang bisa ia lakukan di Makassar. Pada
akhirnya ia memutuskan untuk kembali ke Soppeng tiga minggu kemudian. Tinggallah
saya bersama kakaknya. Ungtungnya kak Rizal ini orangnya agamis, aktif di Islam
Jamaah Tabliq. Membatu orang lain termasuk saya adalah salah satu amal jariyah
yang tak terputus menurut ajaran yang ia pahami. Sebagai muslim, kita semua
pasti sepaham, bukan?
Di tahun
pertama saya mencoba mendaftar di jurusan sesuai cita-cita, ternyata saya harus
kecewa. Setelah pengumuman nama saya tidak ada di pengumuman koran. Saya
memutuskan untuk kembali ke kampung. Selama beberapa minggu saya mengalami
stress besar. Susah tidur dan susah segala-galanya. Sempat berpikir untuk
merantau ke Malaysia timur, Serawak atau Sabah, namun tetap masih teringat
terus dengan kegagalan itu. Sekalipun dalam benak saya juga diliputi keraguan
untuk merantau. Sebabnya, menurut kata orang di kampung merantau itu tidak
mudah.
“Seumpama kamu
punya tenaga satu maka di rantau kamu harus punya tiga tenaga,” Begitu yang
saya dengar.
Kedua orang
tua saya sebenarnya tidak berharap apa-apa. Mereka hanya selalu mengingatkan saya
untuk sabar, karena mereka memang tidak terlalu paham dengan apa itu gagal atau
pun tidak. Tapi mereka cukup mengerti kalau saya tidak lulu tes di tahun itu.
Pikiran untuk
merantau sebenarnya karena rasa malu di kampung. Teringat juga ucapan kakak
tiri dari saudara seibu sekiranya saya lanjut itu hanya akan menghabiskan uang
saja. Terdengar juga selentingan dari warga kampung jika seorang anak kampung
seperti saya mau melanjutkan sekolah sampai kuliah itu hanya mimpi yang susah
terwujud. Bahkan tidak ada dalam sejarahnya orang kampung.
Tercatat
memang saat saya di SMA, belum ada orang dari kampung yang lanjut sampai ke
perguruan tinggi. Ada yang tamat sederajat SMA, seperti di SMEA Muhammadiyah
Soppeng. Tapi yang saya tahu itu baru satu orang. Itu juga saya tidak tahu
mengapa ia tidak lanjut ke perguruan tinggi.
Ada lagi
saudara yang lain menilai saya digambarkan kalau nanti jatuh baru kena tanah.
Artinya tidak mau bekerja. Semua itu sebenarnya yang membuat hati ini terasa
teriris, dan sederet nada-nada sumbang yang mengecilkan hati untuk tetap lanjut
sampai PT.
Walaupun apa
yang dikatakan kakak itu benar juga. Karena saya selama ini tidak pernah berani
mengambil tanggung jawab sendiri meskipun hanya pekerjaan seperti memikul gula
merah dari tempat pembuatannya ke pengumpul atau pedagang, gajian bagi hasil
dalam mengumpulkan buah kemiri dari hutan lahan pemiliknya, atau gajian bagi
hasil ketika orang panen padi di sawah. Saya merasa tidak sanggup untuk
mengambil resiko pekerjaan dengan tanggugng jawab sendiri. Mana lagi saat itu
terbukti saya ternyata tidak cukup kompetensi untuk lulus. Sungguh sangat
memalukan.
Kegundahan dan
rasa malu tidak cukup sampai setahun itu. Pada tahun kedua di tahun 1996,
setelah saya mencoba lagi ikut tes, kembali hasilnya sama di tahun pertama.
Gagal lagi untuk yang kedua kalinya. Namun saat itu saya tidak lagi berpikir
untuk tinggal di kampung. Saya berpikir harus tetap di Makassar. Apapun itu,
saya harus mencoba peruntungan tinggal di kota. Kembali ke kampung adalah
pilihan jika terpaksa. Ketimbang bertambah malu karena menjadi pengangguran
eks-SMA, bekerja apa saja di Makassar itu lebih baik. Saya harus bertahan di
Makassar sampai dapat kesempatan terakhir mencoba ikut tes agar bisa kuliah.
Juga sudah ada tekad bulat dalam hati jika kesempatan di tahun ketiga ini gagal
lagi, alias tidak lulus, maka saya harus merantau ke Malaysia ikut kedua kakak
perempuan dari ayah. Tidak boleh saya kembali ke kampung menjadi olok-olokan
orang sekampung.
Berbagai usaha
pun saya sudah mulai lakukan. Mulai dari mengambil kursus bahasa Inggris di
Handayani Course di Jl. Rappocini Raya, bekerja menjadi pedagang asongan di
sekitar Pasar Sentral Makassar, sampai menjadi buruh angkut pasir dan semen
dalam pembangunan hotel Sahid Makassar.
Ketika menjadi
pedagang asongan, saya belajar dari seorang anak seusia SMP menurut perkiraan
saya. Saya lupa namanya. Dengan gaya Bahasa anak kampung saya tanyakan
bagaimana caranya kalau mau menjadi menjual rokok keliling seperti itu. Adik
ini kemudian menjelaskan dan itu kemudian saya lakukan. Bermodalkan uang Rp.110-an,
saya kemudian mengikuti petunjuk seperti yang digambarkan adik tadi.
System
dagangnya sederhana untuk tetap survive. Cukup menghitung berapa bungkus rokok
habis dalam sehari mulai beroprasi sampai memutuskan untuk pulang dan akan
melanjutkan di keesokan harinya. Keuntungan bisa di dapat dari menaikkan harga
satu atau dua ratusan rupiah per bungkus dan per batang. Ketika hendak pulang
sehabis menjual, dagangan kami titip kembali ke Toke, orang tempat kami
mengambil sejumlah bungkus rokok untuk kami jual.
Umumnya
pelanggang saya adalah abang tukang becak dan beberapa penjual minuman pinggir
jalan serta penjual kain bal di koridor slot pasar. Menekuni pekerjaan itu
berlangsung kurang lebih selama tiga atau empat bulan. Sebelum kemudian seorang
teman yang saya kenal di kompleks mess RS Dadi mengajak saya untuk ikut menjadi
buruh di pembangunan hotel Sahid.
Mendengar
ceritanya, saya tertarik dan memutuskan untuk meninggalkan pekerjaan lama saya.
Menjadi buruh ternyata lebih menjanjikan hasilnya dari pada yang sebelumnya.
Namun, memang butuh tenaga ekstra dalam melakoninya. Berbagai persoalan social
sampai asusila juga sering terjadi di lingkungan kerja. Akan tetapi yang paling
berkesan adalah ketegasan seorang mandor proyek. Hampir setiap dua kali
seminggu saya kena marah gara-gara telat masuk bekerja malam (lembur).
Penyebabnya karena beberapa hari setelah diterima menjadi buruh, saya juga
memutuskan untuk kursus dan ada sebagian waktu kerja dan kursus beririsan.
Jadinya saya terlambat sampai ke tempat kerja.
Tiga bulan lebih
juga saya bekerja di sini. Menjelang pendaftaran tes SMPT yang ketiga kalinya,
saya memutuskan untuk berpindah dari mess tempat kakaknya Rusman tinggal dan bekerja.
Setelah saya
merasa uang yang saya kumpulkan selama menjadi buruh sudah cukup untuk tinggal
di kos, saya kemudian memilih tinggal di wilayah Jl. Mannuruki 13. Harga kos
yang saya pilih masih tergolong sangat murah, sekitar 100 ribu per tahun. Untuk
pindah ke tempat ini saya sudah terlebih dahulu bertanya-tanya kepada salah
seorang penghuninya tentang apa kegiatan sehari-harinya. Karena saya tahu kalau
mereka satu keluarnga dengan seorang anak bukanlah pegawai negeri atau pun swasta
yang berseragam. Dari informasinya saya tahu kalau dia bekerja semacam
outsourcing pekerja taman perumahan. Saya kemudian menawarkan diri untuk
bergabung dengannya. Bagai gayung bersambut ia juga tidak berkeberatan asalkan
saya bersedia mengikuti apa yang disarankannya.
Sambil
menunggu pengumuman, saya juga sudah sedikit legah karena sudah ada lagi
pekerjaan baru untuk sekedar menyambung hidup di Makassar. Selain itu, berkat
jasa dua orang teman mulai awal-awal tinggal di Makassar sampai saat itu selalu
menjadi ATM saya. Mereka berdua adalah Sulfiaty Idris dan Burhanuddin. Keduanya
sudah menjadi lebih dari sekedar teman. Mereka bukan saudara atau pun sepupuan.
Namun disetiap saya merasa sangat membutuhkan, mereka pasti memberikan bantuan.
Selebihnya biaya kebutuhan selama di Makassar jika dalam jumlah yang agak besar
saya harus pulang kampung terlebih dahulu karena orang tua tidak tahu
mengirimkan lewat apa. Mereka juga tidak tahu keadaan saya.
Soal mengirim
kabar atau keperluan uang, baru kemudian orang tua bisa melakukannya setelah
saya berinisiatif meminta bantuan kepada salah seorang pegawai POS bernama pak
Ibrahim. Dengan senang hati ia siap membantu. Berkat bantuannya saya sudah
dapat mengirim kabar untuk keperluan saya, juga walau hanya sekedar menanyakan
kabar.
Penantian
kabar pengumuman pun akhirnya tiba. Dengan sangat kegirangan meski saya
wujudkan hanya dalam hati, saya melihat nama saya sudah tertera pada halaman koran
pengumuman. Sahabat-sahabat satu kos juga menunjukkan rasa senangnya melihat
saya sudah lulus pada jurusan yang saya pilih. Dengan sigap salah satu sahabat
kos namanya kak Arifuddin, dia dipanggil kak Arif, mengajak saya ke kios dekat
kos. Dia mengajak saya untuk membeli beberapa potong roti. Dia mengajak saya
untuk duduk bersama di kamar kos sambil menengadahkan tangan ke atas sembari
bermunajad kepada Allah SWT, bersyukur atas kelulusan itu. Suatu ungkapan rasa yang
sacral dengan perlakuan dan bimbingan dari kak Arif sebagai salah seorang
penghuni kos yang sebenarnya merupakan alumni UNM jurusan Pendidikan Kimia.
Di lingkungan
ini saya banyak belajar dari mereka. Pada umumnya penghuni kos di sini adalah
orang Bima. Kak Arif sendiri tinggal di sini tiga bersaudara juga dari Bima.
Ada ibu Hajar dan pak Ibrahim, mereka sekaligus menjadi orang tua kami sebagai
anak kos. Pemilik kos sendiri kabarnya orang Soppeng. Tapi saya lupa siapa
namanya. Orang menyebut kos ini pondok goyang, karena memang kondisinya kalau
kita berjalan di lantai duanya jelas terasa bergoyang. Bagi yang tidak biasa
bahkan akan kuatir kalau pondoknya akan runtuh. Hahaha…sesuai namanya.
Menjadi
Mahasiswa UNM
Tahun pertama
menjadi mahasiswa sangat membanggakan hati. Teman sekosan juga senantiasa
memberikan support dan cerita-cerita menarik tentang kemahasiswaan. Lambat laun
saya juga sudah banyak berkenalan dengan orang-orang di sekitarnya. Di kompleks
ini seakan kompleksnya orang Bima. Namun satu kesan bagi saya adalah mereka
baik. Bahkan salah seorang dari mereka menjadi teman saya sekaligus sahabat
karib yang menjadi ATM ketiga saya.
Setelah
setahun berlalu, karena tepat di depan kos itu ada sebuah masjid, namanya
masjid Al Arqam; saya diajak oleh salah seorang remaja masjid yang juga orang
Bima, namanya kak Arifn. Dia mahasiswa UIN Makassar, mengajak saya untuk pindah
tinggal di masjid. Ia meminta saya menemaninya menjadi marbot masjid. Mereka
yang tinggal dan bersih-bersih masjid sebenarnya berdua dengan kak Anwar dari
Selayar. Akan tetapi kak Anwar sebentar lagi akan mengikuti program KKN di
penghujung sekolahnya, maka kak Arifin membutuhkan seorang teman. Mungkin
karena melihat keadaan saya dan latar belakang saya, ia menjajak saya tinggal
di masjid saja. Dan sekali lagi harapan saya juga demikian. Biaya hidup tinggal
di kota membuat saya menilai itu adalah pilihan yang tepat. Cukup lama saya
tinggal di masjid itu. Ada empat tahun setengah. Saya tinggalkan masjid itu
setelah menikah.
Menjalani
hidup sebagai mahasiswa baru membutuhkan banyak relasi dan sahabat yang
semuanya secara natural harus berjalan dan menjadi pembelajaran langsung hidup
di tengah masyarakat anak kos-kosan. Masyarakat lingkungan masjid, dunia kampus
dan lingkungan pondokan. Semua terasa sangat berharga dan meberi semangat.
Hari-hari berjalan kaki ke kampus, bertemu dengan teman-teman kuliah sangat
mengasyikkan. Teringat kisah kegagalan masa lalu menjadi kenangan indah
sekaligus menyesatkan dada. Namun saat itu, setelah menjadi mahasiswa sungguh
telah merubah masa kelam itu menjadi bahagia meski baru memulai panggung yang
baru.
Pertunjukan
hasil capain baru akan dimulai. Namun riak gelombang juga pasti senantiasa
membayang-bayangi. Orang tua sebagai petani, bekerja seharian penuh tapi tidak
sebanding dengan hasil yang ia peroleh. Pekerjaan sebagai outsourcing taman
perumahan juga sudah harus saya tinggalkan. Tapi masih beruntunglah karena saya
tidak harus memikirkan biaya sehari-hari lagi selain biaya sekolah.
Dengan
tinggalnya saya di masjid, kebutuhan untuk makan, pengurus masjid punya
kesepakatan dengan kami. Setiap bulanya mereka menyantuni kami dengan biaya
hidup 30 ribuan rupiah perbulan. Jumlah yang sangat terbatas memang. Namun bagi
kami bertiga itu sudah sangat membantu. Saya juga sangat bersyukur karena kebutuhan
lauk pauknya, banyak kiriman rempah-rempah dari orang tua teman dari Bima.
Sebagai marbot
masjid, kami juga terlibat langsung dengan berbagai kegiatan di masyarakat
seperti aqiqah, pengantin, pengajian syukuran atau pun berduka. Tak ketinggalan
juga sahabat ATM ketiga saya Jaharuddin, yang biasa dipanggil Rudi. Tak
terhitung sesering apa biasanya saya berlama-lama di kosnya sampai kebutuhan
perut pun saya tidak malu-malu. Intinya ATM yang benar-benar penopang survive
saya sampai selesai studi. Semacam istilah teman, tetanggaku idolaku (hahaha).
Entah
bagaimana pertemanan itu begitu akrab bagi saya. Padahal kami berdua berbeda
jurusan, dia di Teknik Elektro saya di Pendidikan bahasa Inggris. Tercatat dia setahun
lebih dulu menjadi makasiswa sebelum saya. Pertemanan kami berawal ketika di
setiap saat Rudi datang shalat berjamaah di masjid. Juga saat Rudi datang ke
pondok goyang untuk sekedar bercengkrama dengan sesama orang Bima ketika saya
masih di pondok itu.
Ada kalanya di
masa liburan kampus, saya ajak Rudi untuk berkunjung ke kampung. Dia orangnya
simple, sangat berbeda dengan anak-anak milenial sekarang. Berkunjung ke
kampung tidak perlu bawa segala macam barang-barang seperti skincarelah,
manscraflah, cukup siapkan sabun, pasta gigi dan sikatnya langsung go.
Beberapa teman
akrab lain, semua dari Bima, juga pernah saya ajak berkunjung ke kampung. Seperti
Safrudin. Ia agak berbeda dengan Rudi. Ia mempunyai kelebihan dapat mengobati
orang yang terindikasi kena guna-guna. Dia juga teman saya sesama marbot
masjid. Dia tercatat sebagai mahasiswa jurusan Kimia yang seangkatan dengan
Rudi.
Kehidupan saya
dengan Safrudin boleh dibilang punya keadaan hidup yang sama. Bahkan Safrudin
ini ke Makassar hanya dengan modal nekad. Orang tunya tidak tahu kalau dia ikut
mendaftar SMPTN dengan uang dari omnya. Namun masing-masing dari kami ada ATM
teman (hahaha).
Safrudin
seperti saudara bagi saya. Saking eratnya kedekatan kami, saat saya menikah pun
ia sempatkan hadir. Walaupun tempatnya agak jauh yakni di Soppeng.
Saya hanya
mahasiswa ‘tulen’ selama menjadi mahasiswa. Minim prestasi, bahkan tidak ada.
Apalagi prestasi di bidang akademik. Pada bidang non akademik seperti keorganisasian,
juga tidak banyak. Satu tahun berkecimpun menjadi pengurus HMJ Bahasa inggris,
dua tahun di HMI organisasi ektra di luar kampus, dan sempat bergabung dengan
komunitas beladiri Jit Kundo karena alasan keamanan, juga selama dua tahun.
Sebagai
mahasiswa UNM, hampir menjadi mahasiswa abadi. Tidak selesai-selesai. Lima
tahun tidak kurang menjadi mahasiswa. Sempat juga mengalami masa-masa kritis
dengan stress karena tugas akhir yang tidak kelar-kelar. Mulai dari mengajukan
judul skripsi. Peng-ACC-an judul sampai bolak-balik ke pembimbing namun tidak
kelar-kelar juga. Rasa bosan dalam pembimbingan hingga timbul niat akan
berhenti saja tanpa gelar sebagai sarjana. Pada masa itu terasa cita-cita
berada di titik nadir.
“Biar tidak
jadi sarjana bisa juga barangkali dapat kerja!”Umpat diri saya dalam hati. Rasa
jengkel dalam hati gara-gara pembimbingan yang masih saja selalu bermasalah.
Di sisi lain
saya harus segera menyelesaikan studi. Menikah di tahun 2001, telah memiliki
anggota baru setahun berikutnya sementara sekolah belum selesai, seperti
menjalani hidup yang impossible. Setelah meng-aqiqah anak pertama, oleh
ibu mertua saya dimodali uang 300 ribu rupiah untuk serius mengurus skripsi
saya. Pesan yang sangat luarbiasa, dan itu suatu keharusan. Tidak boleh ada
kata tidak. Ketika sudah berkeluarga maka urusan sendiri bisa jadi urusan
keluarga kedua belah pihak. Konsekuensi yang harus diterima dalam membentuk
koloni keluarga kecil yang baru. Karena desakan itu pula pada akhirnya saya
yang sudah sempat diliputi keputusasaan kembali mulai bangkit. Lewat bantuan
dan dukungan istri juga mungkin kekuatiran rasa malu selamanya jika tidak
selesai, saya pada akhirnya dapat menyelesaikan studi di tahun 2002.
Setahun
sebelum pernikahan kami (2000), di bulan Desember, istri Alhamdulillah memang telah
dinyatakan lulus CPNS di Kabupaten Gowa. Itu juga saya kira sebagai alasan
keluraga dari pihak istri mengijinkan anaknya untuk dinikahkan meskipun saya
saat itu masih berstatus sebagai mahasiswa. Setelah selesai studi dengan gelar
S1 saya kemudian ikut dengan istri dan menekuni pekerjaan sebagai guru honorer
berpenghasilan 2 ribuan per jam di sekolah tempat istri terangkat, SMAN 7 Gowa.
Empat tahun
kemudian di tahun 2009, setelah keadaan ekonomi terasa sudah cukup stabil. Atas
dorongan dan motivasi istri saya dan juga dari kolega yang telah lebih dahulu
melanjutkan Pendidikan di S2, akhirnya saya setuju untuk melanjutkan Pendidikan
ke jenjang S2 juga. Harapannya agar dapat mengikuti perkembangan tuntutan
profesi sebagai guru di sekolah menengah atas.
Tantangan
selama pendidikan di S2 ini sudah terasa agak mudah. Mungkin karena sudah
mengalami masa-masa sulit selama di S1. Gaya mengajar dosen-dosennya juga
sedikit banyak cukup berpengaruh. Mereka terkesan tidak semau-maunya saja
mengeluarkan statemen yang kadang kurang menghargai. Selain itu, mental dalam
mengikuti setiap tahap perkuliahan memang sudah dipersiapkan.
Ketika di S1
terkadang juga ada rasa jenuh dengan lamanya waktu yang digunakan untuk memperoleh
ijazah. Sementara di S2 cukup dua tahun itu sudah cukup untuk memperoleh
ijazah. Suatu waktu yang tidak terasa sangat melelahkan. Sehingga semangat
untuk menyelesaikan studi tepat waktu tetap terjaga. Dengan semangat itu pula
di tahun 2011, saya dapat memperoleh ijazah S2 saya.
Mengajar di
SMAN 7 Gowa
Hari-hari
menjalani bekerja sebagai honorer, dengan gaji yang jauh dari kata cukup
walaupun hanya untuk membeli susu formula, membutuhkan-sekali lagi- kesabaran
untuk tetap bertahan. Sementara ke depannya kita tidak tahu akan seperti apa.
Pada tahun itu keadaan politik di Indonesia juga dalam masa transisi. Penentuan
nasib pegawai negeri sipil seperti dalam profesi guru tidak serta merta dapat
menerima gaji dengan diterimanya menjadi CPNS. Bahkan keadaan itu berlangsung
sampai setahun tak jelas kapan akan gajian. Walhasil pak Abbas sebgai kepala
sekolah menyiasati belanjaan operasional sekolah dengan menyisihkan sebagiannya
kepada guru-guru barunya untuk sekedar biaya hidup mereka.
Karena sekolah
ini juga tergolong baru, peresmiannya di tahun 1998, tidak tersedia perumahan
untuk guru atau pegawainya yang baru. Praktis, kami diberikan satu kamar untuk
digunakan sementara. Maksudnya sementara akan tetapi malah sampai tiga tahunan.
Ruangan ini pun sebenarnya persiapan untuk guru BK nantinya.
Selama satu
tahun dari tahun 2002 saya bekerja sebagai guru honorer. Setelah itu terbuka
peluang untuk menjadi Guru Bantu Sementara (GBS) di tahun 2003. Persyaratannya
cukup dengan bukti telah mengabdi pada salah satu sekolah sebagai honorer.
Dengan kriteria itu saya dapat terjaring menjadi salah satunya. Setelah tiga
tahun menjadi GBS, kemudian ada perbaikan nasib oleh Presiden yang ketika itu presiden
SBY bahwa semua GBS akan diangkat menjadi guru tetap dengan status CPNS (2006).
Alhamdulilah sejak saat itu saya sudah hidap menjadi pegawai negeri sipil.
Mengajar di
SMAN 7 Gowa merupakan ajang bagi saya untuk menimba pengalaman sebagai guru.
Sebagai guru yang baru belajar mengajar, problem pertama yang saya hadapi adalah
menyusun perangkat ajar mulai dari program tahunan sampai aplikasinya dalam
kelas. Memang sebagai sarjana Pendidikan kami telah dibekali pemahaman juga
praktik lapangan selama tiga bulan namun tidak cukup untuk memahami semua.
Kondisi anak didik dan lingkungan, termasuk lingkungan asal peserta didik,
sangat menentukan bentuk interaksi di kelas dan di luar kelas. Belum lagi
godaan candaan siswa tapi kadang kepikiran juga karena masih merasa muda
(hahaha), dan sederet tantangan sebagaai guru pebelajar.
Setelah merasa
cukup dewasa daalam menjalani hidup sebagai guru, idealisme pun mulai sangat
mempengaruhi perilaku di sekolah. Teringat masa-masa demo di jalanan,
menyampaikan ide lewat aksi membuat kadang-kadang ingin membentuk lingkungan
sekolah seperti apa yang dianggap baik dan menempatkan kondisi yang ada sebagai
sesuatu yang keliru. Pertentangan dengan pimpinan pun terkadang tak terelakkan.
Bertambahnya
pengalaman mengajar membuat saya kemudian sadar bahwa problematika itu tidak
boleh ditempatkan semua pada pemahaman seperti ketika di masa kuliah dahulu.
Harus ada filter agar suatu permasalahan itu tidak kembali ke diri sendiri.
Pernah suatu
waktu seorang anak tidak lulus ujian sekolah. Pada waktu itu kelulusan
ditentukan oleh satuan Pendidikan masing-masing sekolah. Anak ini tidak
mengikuti salah satu ujian yang menjadi syarat kelulusan. Alasannya simple
ingin mengikuti even balapan motor di kampunya, Kecamatan Tompobulu.
Anak ini
sebenarnya adalah termasuk anak yang mempunyai kemampuan di atas rata-rata
dalam seangkatannya. Suatu ketika orang tuanya langsung datang ke sekolah
dengan badi tehulus mencari dan bermkasud ingin menghabisi saya. Ia tidak
terima jika anaknya tidak lulus. Sialnya hari itu ia datang pada saat acara
penammatan berlangsung. Alat-alat sound system sedang digunakan adalah milik orang
tua anak ini.
Menurut
Munawir-nama anak itu, sebenarnya sudah mencegah dan melarang bapaknya untuk
datang ‘mengamuk’ di sekolah. Tapi mungkin bapaknya sudah naik pitam, itu tidak
bisa dihalau lagi. Untungnya saat kejadian saya masih berada di Soppeng karena
ada acara pengantin dari keluarga istri.
Belajar dari
pengalaman itu saya kemudian semakin menyadari bahwa menjadi guru ada kalanya
harus rela menerima kenyataan meskipun sangat berbeda dengan yang kita
harapkan, bahkan boleh jadi menyangkut kehormatan kita sebagai guru. Sikap
idelisme terhadap suatu persoalan bisa saja dikesampingkan ketika cara itu
dianggap bukanlah hal yang terbaik dalam menyelesaikannya.
Mungkin memang
akan bagus sekiranya dapat terwujud akan tetapi bersikap frontal atau mungkin
sedikit radikal bisa saja hanya akan menghasilkan ketidakharmonisan terhadap
kolega dan bahkan mungkin kebencian dari pimpinan sendiri. Sebagaimana halnya
persoalan antara saya dan orang tua Munawir. Suatu hal yang tidak nyaman dalam sebuah
komunitas sebagai guru juga dengan status sebagai guru yang harus menjadi sosok
yang dapat digugu dan ditiru.
Sebab
sekalipun kita berada di posisi yang benar, bisa saja itu malah kita yang
dipersalahkan. Kondisi ini bisa terjadi di mana saja tempat kita bekerja.
Sialnya, hal
itu juga pernah saya alami. Suatu waktu saya mengirimkan pesan pendek (SMS) kepada
alah seorang pembantu pejabat Bupati tentang pemotongan gaji pegawai oleh
bendahara sekolah. Saya menanyakan apa betul ada sanksinya jika terindikasi ada
pemotongan gaji guru tanpa persetujuan yang bersangkutan oleh bendahara.
Di luar
dugaan, ternyata SMS saya langsung ditindaklanjuti oleh staf Bupati. Pihaknya
pun langsung mengklarifikasi dengan menelpon langsung ke kepala sekolah saya
perihal tersebut. Akhirnya saya dipersalahkan oleh bendahara sekolah dengan
tindakan yang saya lakukan. Setelah saya timbang-timbang apa yang baru saja
saya lakukan, saya kemudian berpikir ternyata idealisme itu sekali pun itu
merupakan hak kita akan tetapi mesti dipertimbangkan secara matang sebelum
terlanjur bertindak.
Mengajar di
SMAN 5 Gowa
Dari tahun
2002 sampai 2014 saya mengajar di SMAN 7 Gowa, sebelum kemudian saya memutuskan
untuk mengurus pindah sekolah pada bulan Juli 2014 ke SMAN 5 Gowa. Setelah
setahun bolak-balik antara Malino-SMAN 5 Gowa- dan Malakaji-SMAN 7 Gowa,
akhirnya oleh Kabid Dikmen Kabupaten Gowa diterbitkan SK peralihan tugas dari
SMAN 7 Gowa ke SMAN 5 Gowa. Sebelum adanya SK tetap di sekolah tujuan, saya
meminta agar jam mengajar saya tiga hari di sekolah asal dan juga di sekolah
tujuan.
Mengajar di
SMAN 5 Gowa sebenarnya bukan tujuan utama. Sebelumnya saya berharap dapat
sekolah yang dekat dengan tempat domisili saya yakni SMAN 10 Gowa. Namun guru
bahasa Inggris di sekolah ini sudah cukup, sesuai jumlah kelas yang ada. Dengan
terpaksa saya hanya bisa dipilihkan ke SMAN 5 Gowa. Dalam benak saya, itu juga
sudah lumayanlah dibanding sekolah saya sebelumnya yang harus ditempuh tiga jam
perjalanan dari Makassar. Sedangkan sekolah ini satu jam setengah sudah bisa
sampai bila tidak ada kemacetan dalam perjalanan.
Di SMAN 5
inilah saya benar-benar merasa harus terus belajar. Keadaan siswanya agak
berbeda dengan di SMAN 7 Gowa, sekolah saya sebelumnya. Jika dulu, saya
biasanya harus memperlambat pembelajaran yang sudah saya siapkan, di sini
justru sering kali dapat dipercepat untuk beberapa materi pelajaran dasar.
Umumnya mereka juga sudah bagus menggunakan bahasa Inggris secara aktif. Bahkan
ada yang menurut saya sudah excellent dalam berbahasa Inggris. Hal ini
membuat saya semakin tertantang untuk terus meningkatkan kemampuan saya baik
dalam bahasa lisan maupun tulis.
Jika dulu di
SMAN 7 Gowa, jarang sekali ada siswa kami yang berminat mengikuti berbagai
kompetisi bahasa Inggris maka di sini hampir setiap bulannya ada saja dari
mereka yang berlomba. Dari penuturan siswa bahkan kompetisi bahasa Inggrislah
yang paling banyak menyumbangkan tropi untuk sekolahnya.
Hampir semua
bidang lomba mata pelajaran (mapel) mereka ikuti. Tak terkecuali dalam
keikutsertaannya pada kompetisi Olimpiade Nasional di setiap tahunnya. Mereka
seakan menjadikan kompetisi Olimpiade ini sebagai suatu kewajiban. Mungkin
karena sekolah ini memang dipersiapkan bagi siswa(i) Sulawesi Selatan yang
cerdas-cerdas. Mereka senantiasa berusaha mewariskan kepada adik-adiknya
semangat untuk tetap dapat berkompetisi secara nasional dan bahkan
Internasional.
Walaupun
demikian pasang surut keikutsertaan mereka pada setiap mapelnya, dalam hal ini
di Olimpiade Nasional tidak selalu tetap pada mapel atau bidang ilmu yang sama.
Kadang pada tahun berjalan yang lolos Astronomi namun pada tahun berikutnya
pada bidang Fisika atau Kebumian. Bahkan tiga tahun terakhir Kimialah yang
selalu masih konsisten lolos ke tingkat Nasional. Singkatnya mereka berusaha
untuk tetap ada yang dapat lolos Olimpiade sampai tingkat Nasional.
Hari-hari
mengajar di sekolah ini terasa membanggakan melihat peserta didiknya pada
ceerdas-cerdas. Sapaan mereka dalam setiap bertemu di mana saja juga selalu
menunjukkan sikap sopan dan santun. Keseharian mereka memang sengaja dibentuk
dengan ajaran perilaku yang baik. Bahkan diharapkan apa yang mereka peroleh
selama di sekolah ini bisa menjadi miniature kehidupan mereka untuk menuju ke
kehidupan yang sesunggunhya kelak ketika mereka kembali ke masyarakat sesuai
profesi masing-masing.
Tatanan
kehidupan yang ideal atau bahkan yang diharapkan untuk sempurna, namun sebagai
manusia ada saja yang tidak bisa sesuai harapan. Demikian juga pada anak-anak
di sekolah ini. Meskipun sesungguhnya sikap mereka sudah rata-rata baik dan
sopan, namun riak-riak kecil dalam perilaku keseharian mereka kadang masih
keliru juga. Dalam memperlakukan adik-adiknya di asrama misalnya, kadang masih
belum bisa menerapkan bentuk perlakuan secara selektif terhadap mereka sesuai
kondisi psikologisnya.
Akibatnya,
adakalanya kekeliruan itu membuat adik-adiknya tidak merasa betah di sekolah.
Bahkan pada anak yang tidak terbiasa
dengan gertakan meskipun tujuannya baik, mereka akan terlihat ‘trauma’ sampai
enggan untuk kembali ke sekolah. Akan tetapi diluar dari kerikil-kerikil itu,
prestasi yang mereka telah tunjukkan plus etika terhadap guru dan orang tua
juga kepada siapa pun tetap memang menjadi andalan bagi kami.
Sedikit
kekeliruan atau bahkan mungkin dianggap salah,tidak membuat kami menstigma
jelek kepada mereka. Para orang tua wali siswa pun sampai detik ini masih
sangat yakin dan percaya bahwa sekolah ini masih yang terbaik di mata kami guru
dan orang tua siswa yang pernah mempercayakan anak-anak mereka dididik di
sekolah ini. Wallahu a’lam bissawab.
Komentar
Posting Komentar
Only positif comment will be apreciated